KONTEKS.CO.ID – Narasi antara Menko Pemberdayaan Manusia (PM) Muhaimin Iskandar (Cak Imin) versus Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia, soal tobat nasuha terkait bencana merupakan kompetisi kepedulian simbolik.
"Pertukaran narasi Cak Imin–Doli berada dalam apa yang disebut kompetisi kepedulian simbolik," kata Arifki Chaniago, Direktur Eksekutif Aljabar Strategic di Jakarta, Kamis, 4 Desember 2025.
Ia menyampaikan, para elite juga berlomba merebut posisi sebagai suara moral atau teknis yang paling relevan di tengah perlombaan parpol hadir memberikan bantuan kepada korban.
“Ketika parpol turun ke lokasi, mereka sedang membangun pencitraan berbasis kehadiran,” ujarnya.
Sedangkan ketika elite seperti Cak Imin dan Doli berbicara, mereka membangun pencitraan berbasis penjelasan.
"Kompetisi ini tidak bisa dihindari karena bencana selalu menjadi panggung yang sensitif bagi legitimasi politik,” katanya.
Baca Juga: Ini Pandangan Aljabar Strategic Soal Tobat Nasuha Terkait Bencana Cak Imin Vs Doli Kurnia
Ia menilai, selama kompetisi ini tidak mengganggu kerja kemanusiaan, dinamika tersebut masih dapat dipahami sebagai bagian dari proses demokrasi.
Terpenting, katanya, pesan utama tetap terjaga, yakni warga terdampak membutuhkan bantuan nyata, sementara elite dan parpol perlu memastikan narasinya tidak saling menegasikan upaya penanganan.
“Di tengah bencana, publik melihat dua hal sekaligus, siapa yang datang membawa beras dan siapa yang datang membawa arah," ujarnya.
Menurut Arifki, selama keduanya bergerak dalam harmoni, politik tetap bisa berjalan tanpa mengaburkan kemanusiaan.
Ia menambahkan, fenomena parpol berbondong-bondong datang ke lokasi bencana sebenarnya membawa dimensi komunikasi politik yang sama.
Komunikasi politik tersebut yakni kehadiran fisik di lapangan adalah bentuk visual framing. Publik melihat siapa yang hadir, siapa yang peduli, dan siapa yang hanya muncul lewat pernyataan.
Baca Juga: Pemerintah Bakal Bagikan Tanah Negara untuk 1 Juta Warga Miskin, Cak Imin Spill Syaratnya
Menurut dia, bantuan parpol itu ibarat ‘bahasa tubuh’ politik. Ketika bendera partai bertebaran di lokasi bencana, itu adalah cara mereka mengatakan ‘kami ada untuk kalian’.
“Di sisi lain, komentar elite adalah ‘bahasa lisan’. Keduanya saling melengkapi dalam persaingan membentuk persepsi publik,” kata Arifki.***