KONTEKS.CO.ID - Banjir besar yang baru-baru ini melanda tiga provinsi di Sumatra ternyata bukan sekadar fenomena alam.
Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), bencana ini muncul karena kerusakan lingkungan yang sistematis, terutama degradasi hutan dan Daerah Aliran Sungai (DAS).
“Penyebab kerusakan terjadi karena alih fungsi kawasan hutan menjadi peruntukan lain,” ujar Mukri Friatna, Deputi Eksternal Eksekutif Walhi yang dilansir Senin, 1 Desember 2025.
Baca Juga: Walhi Sebut Banjir Sumatra Akibat Industri Ekstraktif, Pemulihan Hutan Bisa Butuh 10 Tahun!
Peta Kerusakan dan Dampak Kebijakan
Kerusakan terkonsentrasi di ekosistem kritis seperti Taman Nasional Leuser, Hulu DAS Gayo, dan Batang Toru di Sumatra Utara.
Banyak kawasan hutan diubah menjadi perkebunan sawit, tambang, PLTA, geothermal, bahkan tambang emas ilegal.
Dari 2015-2022, Aceh kehilangan 130.743 hektare hutan, sementara kemampuan reforestasi hanya 785 hektare per tahun.
Alih fungsi ini diperparah dengan legalisasi sawit ilegal seluas 3,3 juta hektare melalui kebijakan amnesti.
Baca Juga: Walhi Ungkap 7 Perusahaan Jadi Biang Kerok Banjir Tapanuli: Astra, Agincourt, dan Tanoto Terlibat?
Saat ini, Sumatra telah dibebani oleh izin-izin yang masif:
- IUP Pertambangan: 2,4 juta hektare
- HGU Sawit: 2,3 juta hektare
- Izin Sektor Kehutanan: 5,6 juta hektare
Menurutnya, yang turut memperparah adalah legalisasi sawit ilegal seluas 3,3 juta hektare di dalam kawasan hutan melalui kebijakan pengampunan (amnesty) oleh pemerintahan Jokowi, yang hanya dikenai denda.
Mukri menegaskan, pemerintah harus menambah anggaran reforestasi, menghentikan izin baru industri ekstraktif, dan menegakkan RTRW yang mempertahankan minimal 30% kawasan hutan.
“Jika kerusakan terus terjadi, bencana seperti ini akan terus terulang,” tegasnya.
Baca Juga: Inara Rusli Ramai-Ramai Diboikot Brand Imbas Kasus Perselingkuhan, Ayesha Hijab Batalkan Kontrak