KONTEKS.CO.ID - Penanganan kasus investasi bodong robot trading Fahrenheit kembali mengguncang citra penegakan hukum Kejaksaan.
Dalam kasus ini, muncul dugaan keterlibatan sejumlah jaksa, termasuk Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Barat (Kajari Jakbar), Hendri Antoro, yang menerima aliran dana dari hasil kejahatan.
Alih-alih menunjukkan ketegasan, langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) justru menuai kritik keras.
Hendri memang dicopot dari jabatannya, tetapi Kejaksaan menyatakan bahwa ia tidak memiliki niat jahat saat menerima uang Rp500 juta dari jaksa Azam Akhmad Ahsya, yang telah divonis 9 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 11 September 2025 silam.
Kejaksaan beralasan Hendri hanya "lalai" dan belum terbukti memiliki mens rea (niat jahat) dalam perkara ini.
Pernyataan ini dianggap banyak pihak sebagai bentuk perlindungan berlebihan terhadap oknum internal.
Direktur Eksekutif Democratic Judicial Reform (De Jure), Bhatara Ibnu Reza, menilai langkah Kejagung terkesan hanya ingin menghentikan kasus pada satu orang pelaku, yakni Azam, dan memutus rantai keterlibatan ke level yang lebih tinggi.
“Terkesan kuat jika Kejaksaan memberikan perlindungan dan pembelaan yang tidak proporsional kepada orang yang diduga ikut terlibat menerima uang yang seharusnya dikembalikan kepada para korban tindak pidana tersebut,” ujar Bhatara, dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 14 Oktober 2025.
Padahal, lanjutnya, Pasal 4(i) PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS secara tegas melarang aparatur negara menerima pemberian dalam bentuk apa pun yang berkaitan dengan tugas dan fungsinya.
Dengan jumlah uang mencapai ratusan juta rupiah, seharusnya Hendri "pantas menduga" adanya pelanggaran serius yang berimplikasi pidana.
Bhatara menilai, pembelaan terhadap jaksa penerima uang justru bertolak belakang dengan komitmen Jaksa Agung untuk membersihkan korps Adhyaksa dari penyalahgunaan wewenang.