KONTEKS.CO.ID - Di negeri yang mengklaim diri menuju "Modernisasi Digital”, hukum ternyata masih gagap membaca kode. Kepolisian - yang sejatinya adalah benteng hukum - terlihat seperti kehilangan kompas di tengah cyber masquerade: panggung di mana para aktor dunia maya menari dengan topeng-topeng anonim, sementara aparat sibuk menebak siapa di balik bayangan.
Nama “Fufufafa” menjadi simbol kegagapan itu - sebuah entitas yang tak terungkap, tak tersentuh, namun menggema di ruang publik seperti hantu dalam mesin (ghost in the machine).
Ironisnya, di negeri yang gagal memetakan jejak “Fufufafa”, Kepolisian justru dengan heroik mengumumkan keberhasilan menangkap Bjorka - seorang peretas yang konon membocorkan data rahasia negara.
Baca Juga: Beredar Postingan Pertamina Bakal Bayar Postingan Positif Rp7 Juta, Komentar Netizen Bikin Ngakak
Namun sejarah kecil di ruang siber mencatat, Bjorka hanyalah satu dari banyak “nama sandi” yang menjadi mitos penegakan digital: sebuah teater kebanggaan palsu yang dikemas dalam narasi law enforcement drama, agar publik percaya bahwa negara masih berdaulat atas ruang maya. Padahal, digital sovereignty kita sebenarnya rapuh, seperti sistem keamanan yang berlubang oleh tangan-tangan sendiri.
Dalam lanskap cyber law, kedaulatan digital seharusnya bertumpu pada transparency, accountability, and proportionality. Namun yang terjadi justru sebaliknya: hukum berubah menjadi alat spektakel (lawfare spectacle).
Kasus Bjorka dijadikan panggung pembuktian semu bahwa negara mampu menegakkan hukum, meskipun yang ditangkap bukanlah dalang sebenarnya, melainkan figuran yang mudah dikorbankan untuk menciptakan efek psikologis: techno-anxiety.
Masyarakat dipaksa percaya bahwa ancaman digital telah dikendalikan, sementara epistemic chaos - kekacauan pengetahuan tentang siapa pelaku sebenarnya - terus dipelihara agar rasa takut tetap hidup. Ini bukan sekadar kegagapan teknologi, tetapi juga kegagapan epistemik: negara tak tahu, dan sekaligus tak mau tahu, kebenaran yang mengancam wajahnya sendiri.
Baca Juga: KPK Panggil Dua Saksi dalam Kasus Korupsi Kuota Haji, Salah Satunya Kakanwil Kemenag Jateng
Dalam konsideran hukum, Pasal 1 angka (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “Indonesia adalah negara hukum.” Namun hukum macam apa yang lahir dari kebingungan algoritmik?
Ketika aparat sibuk menuduh bayangan, ketika penyelidikan bergeser menjadi trial by press conference, ketika siber dijadikan ruang teatrikal untuk mengalihkan sorotan dari korupsi data dan kolusi digital - maka yang tersisa hanyalah simulacra of justice: citra keadilan yang meniru dirinya sendiri.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang seharusnya menjamin keamanan dan kebebasan digital, justru sering dipakai sebagai digital bludgeon - alat pemukul terhadap mereka yang salah bicara, bukan mereka yang salah mencuri.
Baca Juga: Pakar Siber Teguh Aprianto Sindir Polisi Tangkap WFT Bjorka Palsu, Ini Analisa soal Hacker Aslinya