KONTEKS.CO.ID - Istilah Restorative Justice atau RJ ramai diperbincangkan setelah Kajati DKI Jakarta Reda Manthovani akan menawarkan RJ untuk menyelesaikan kasus penganiayaan Mario Dandy terhadap David.
Apa itu restorative justice, dasar hukum dan syaratnya jika kasus pidana akan diselesaikan dengan RJ.
Dihimpun dari berbagai sumber, restorative justice adalah penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, atau pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil melalui perdamaian dengan menekankan pemilihan kembali pada keadaan semula.
Pengertian restorative justice atau keadilan restoratif ini termuat dalam Pasal 1 huruf 3 Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021.
Lebih jauh dijelaskan jika restorative justice merupakan alternatif penyelesaian perkara dengan mekanisme yang berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan semua pihak terkait.
Prinsip dasar restorative justice adalah adanya pemulihan pada korban yang menderita akibat kejahatan dengan memberikan ganti rugi kepada korban, perdamaian, pelaku melakukan kerja sosial maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya.
Untuk pelaksanaan restorative justice, pelaku memiliki kesempatan terlibat dalam pemulihan keadaan (restorasi), masyarakat berperan untuk melestarikan perdamaian, dan pengadilan berperan untuk menjaga ketertiban umum.
Dasar Hukum Restorative Justice
Apa yang menjadi dasar hukum penerapan restorative justice pada perkara tindak pidana ringan termuat dalam beberapa peraturan berikut ini:
Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Pasal 205 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP)
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP
Nota Kesepakatan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 131/KMA/SKB/X/2012, Nomor M.HH-07.HM.03.02 Tahun 2012, Nomor KEP-06/E/EJP/10/2012, Nomor B/39/X/2012 tanggal 17 Oktober 2012 tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat Serta Penerapan Restorative Justice
Surat Direktur Jenderal Badan Peradilan umum Nomor 301 Tahun 2015 tentang Penyelesaian Tindak Pidana Ringan
Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021 Tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif
Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif
Penyelesaian perkara dengan RJ tidak mudah. Ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi.
Perkara pidana yang dapat diselesaikan dengan restorative justice adalah pada perkara tindak pidana ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan 483 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam hal ini hukum yang diberikan adalah pidana penjara paling lama 3 bulan atau denda Rp 2,5 juta.
Selain pada perkara tindak pidana ringan, penyelesaian dengan restorative justice juga dapat diterapkan pada perkara pidana berikut ini:
Tindak Pidana Anak
Tindak Pidana Perempuan yang berhadapan dengan hukum
Tindak Pidana Narkotika
Tindak Pidana Informasi dan transaksi elektronik
Tindak Pidana Lalu Lintas
Syarat Restorative Justice
Apa saja syarat pelaksanaan restorative justice? Apakah setiap perkara bisa diselesaikan dengan RJ?
Syarat restorative justice termuat dalam Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dan Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021 Tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif.
Penanganan tindak pidana dengan restorative justice harus memenuhi persyaratan umum dan khusus. Persyaratan umum berlaku pada kegiatan penyelenggaraan fungsi reserse kriminal, penyelidikan, atau penyidikan.
Sedangkan persyaratan khusus hanya berlaku untuk tindak pidana berdasarkan restorative justice pada kegiatan penyelidikan atau penyidikan.
Berikut ini persyaratan umum pelaksanaan restorative justice secara materiil, meliputi:
Tidak menimbulkan keresahan dan/atau penolakan dari masyarakat
Tidak berdampak konflik sosial
Tidak berpotensi memecah belah bangsa
Tidak radikalisme dan separatisme
Bukan pelaku pengulangan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan
Bukan tindak pidana terorisme, tindak pidana terhadap keamanan negara, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana terhadap nyawa orang.
Sedangkan persyaratan umum pelaksanaan restorative justice secara formil, meliputi:
Perdamaian dari dua belah pihak yang dibuktikan dengan kesepakatan perdamaian dan ditanda tangani oleh para pihak, kecuali untuk tindak pidana Narkotika
Pemenuhan hak-hak korban dan tanggung jawab pelaku, berupa pengembalian barang, mengganti kerugian, mengganti biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana dan/atau mengganti kerusakan yang ditimbulkan akibat tindak pidana. Dibuktikan dengan surat pernyataan sesuai dengan kesepakatan yang ditandatangani oleh pihak korban (kecuali untuk tindak pidana Narkotika).
Adapun persyaratan khusus dalam penanganan tindak pidana berdasarkan restorative justice merupakan persyaratan tambahan untuk tindak pidana lainnya. ***