“Hanya sebagian kecil, tapi jumlahnya mencapai ribuan. Polisi dalam hal ini saya percaya, hanya berusaha menjalankan kewajibannya. Ingat, di lapangan masih ada para pemain dan official Arema. Para pemain Persebaya juga sudah mulai diserang. Polisi harus menertibkan keadaan,” katanya.
Ditambahkan Ade Armando, karena itu polisi memiliki kewajiban untuk mengusir suporter yang masuk ke lapangan. Dia mengeritik cara polisi menangani pengamanan dengan gas air mata.
“Pertanyaan saya adalah apa yang harus dilakukan polisi menghadapi ratusan atau ribuan orang yang menyerbu ke tengah lapangan. Yang berpotensi merusak dan mengancam nyawa,” katanya.
Menurut Ade, kondisi itu bukan pertama terjadi dalam sepak bola Indonesia. Penggunaan gas air mata merupakan prosedur yang wajar dilakuan polisi, dan itu tidak dilakukan sembarangan. Meski dia mengakui kalau gas air mata itu akhirnya membuat panik suporter yang sebenarnya tidak terlibat menyerbu ke lapangan.
“Tapi saya tidak melihat itu dilakukan oleh polisi sebagai cara represif mereka apalagi melanggar HAM,” katanya.
Kata dia, pangkal masalah ada pada perilaku sebagian suporter yang beringas, dan masalah ini harus diseleesaikan dengan mendidik suporter Indonesia. Agar mencegah tragedi ini tidak terulang.
“Kita juga belajar panitia seharusnya memberi jalan keluar yang lapang begitu perrandingan selesai. Polisi juga belajar tidak boleh menembak gas air mata ke tribun penonton. Namun yang terpenting kita harus mengajar para suporter bertindak secara beradab. Fanatisme seharusnya tidak berujung pada tindakan yang kalap, irasional, saat tim kesayangan mereka kalah,” katanya.***