Dan dengan salah satu alasan yang disampaikan oleh Ketua Komisi III DPR, Bambang Wuryanto (30/9), akan adanya aduan masyarakat dan tindakan Aswanto dalam memutus perkara yang tidak sejalan dengan kehendak DPR, sebagai pembentuk UU.
“Argumen ini bukan hanya keliru tetapi mempunyai daya rusak bagi institusi MK. DPR menganggap tiga orang hakim MK jalur DPR adalah wakilnya, yang harus berkomitmen mengamankan produk kerja DPR, yakni tidak membatalkan UU yang dibentuk oleh DPR dan Presiden,” tegasnya.
Ismail menjelaskan desain ketatanegaraan pengisian jabatan hakim MK dari tiga cabang kekuasaan, yakni DPR, Presiden dan MA, bukanlah ditujukan untuk mewakili kepentingan institusi-institusi tersebut. Tetapi untuk memastikan independensi, integritas dan kontrol berlapis eksistensi Mahkamah Konstitusi, karena posisinya sebagai peradilan Konstitusi yang menjaga prinsip supremasi konstitusi.
“Pencopotan Aswanto jelas menggambarkan penggunaan nalar kekuasaan yang membabi buta. Peragaan nalar sebagaimana diadopsi DPR akan membonsai kelembagaan dan hakim-hakim MK, khususnya yang berasal dari jalur DPR dan Presiden, karena posisi DPR dan Presiden sebagai pembentuk UU,” jelasnya.
Selain itu argumen DPR bahwa tindakannya merupakan keputusan politik juga menyesatkan, karena sebagai institusi politik DPR tetap terikat dan harus patuh pada UU MK dan seluruh prosedur yang telah ditetapkan dan menjadi kesepakatan politik dan dituangkan dalam bentuk UU.