KONTEKS.CO.ID - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengkritik berbagai kasus pidana yang melibatkan anggota TNI yang marak belakangan ini.
Salah satunya ialah vonis ringan oleh Hakim Militer pada Pengadilan Militer I-02 Medan yang menjatuhkan hukuman 2,5 tahun penjara dan pemecatan bagi Serka Darmen Hutabarat dan Serda Hendra Francisco Manalu yang terbukti melakukan penembakan yang menewaskan seorang anak berinisial MAF di Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara.
"Vonis ringan dalam kasus pembunuhan anak di bawah umur (MAF) memperpanjang daftar kasus kekerasan dan pembunuhan oleh anggota TNI terhadap warga sipil yang berakhir tanpa hukuman setimpal," tulis Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan dalam siaran persnya, Sabtu 9 Agustus 2025.
Pola ini lanjutnya telah berulang seperti pada kasus penyerangan dan penganiayaan terhadap warga Deli Serdang pada November 2024 yang pelakunya divonis paling berat 9 bulan, pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani pada September 2020 di Intan Jaya yang vonis terberat pada pelakunya hanya selama 1 tahun, dan penyiksaan yang menewaskan Jusni pada Februari 2020 dengan vonis paling lama 1 tahun 2 bulan penjara.
Kemudian kasus lainnya ialah tindak pembunuhan terhadap sesama anggota TNI dalam kasus kematian Prada Lucky Chepril Saputra Namo yang diduga menjadi korban penganiayaan para seniornya yang bertugas di Batalyon Teritorial Pembangunan 834 Wakanga Mere, NTT.
Prada Lucky sempat dirawat di rumah sakit dengan bekas luka seperti bekas tusukan di kaki dan belakang tubuhnya serta memar dan lebam di sekujur tubuhnya, sebelum akhirnya meninggal dunia pada 6 Agustus 2025 lalu.
Kasus pembunuhan prajurit TNI seperti pada kasus Prada Lucky di NTT itu bukanlah kasus pertama yang terjadi. Sebelumnya dalam kurun waktu 4 tahun saja setidaknya ada 2 kasus pembunuhan oleh sesama anggota TNI yang mencuat ke hadapan publik.
Kasus-kasus tersebut adalah kasus pembunuhan Prada MZR yang tewas akibat dianiaya enam seniornya di Batalyon Zeni Tempur 4/TK pada Desember 2023 dan kasus tewasnya Sertu Bayu yang meninggal dunia pada November tahun 2021 akibat menjadi korban penganiayaan yang dilakukan oleh dua perwira saat bertugas di Timika, Papua.
"Dalam dua (kasus) tersebut terdapat pola yang sama yaitu ketertutupan penegakan hukum. Bahkan Panglima TNI Andika Perkasa pada tahun 2021 sampai meminta adanya penyidikan ulang terhadap kasus pembunuhan Sertu Bayu karena dianggap terdapat banyak kejanggalan (impunitas). Pada titik ini, dengan kondisi belum direformasinya peradilan militer di mana hakim, jaksa dan terdakwanya sama-sama merupakan anggota TNI, maka patut disangsikan bahwa proses hukum yang akan berjalan dengan baik dan memberikan keadilan bagi korban (impunitas)," paparnya.
Baca Juga: Ini 6 Nama Pati TNI AD yang Ditunjuk Panglima untuk Pimpin Kodam Baru
Impunitas yang terjadi dalam kasus-kasus tersebut menurutnya, lahir dari sebuah sistem yang menutup diri terhadap pengawasan publik, serta lebih mengedepankan perlindungan terhadap institusi alih-alih menjunjung tinggi keadilan bagi korban.
Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa keberadaan sistem peradilan militer tidak menjamin adanya transparansi dan akuntabilitas yang memadai. Vonis peradilan militer yang jauh dari kata adil, sama artinya dengan memperkuat persepsi bahwa anggota militer kebal hukum.
Artikel Terkait
Baru 2 Bulan Jadi Prajurit TNI AD, Prada Lucky Chepril Tewas Diduga Dianiaya Senior: Dihantam Benda Keras hingga Disundut Rokok
TNI Resmikan 6 Kodam Baru, Siap Unjuk Kekuatan di Batujajar Bareng Jenderal Bintang Tiga
TNI Rombak Pasukan Elite, Pangkat Jenderal Naik Kelas, Pengamat: Simbol Kuat atau Beban Baru?
Spesifikasi Pesawat Latih TNI AU Quicksilver GT500: Ringan, Lincah, dan Efisien
Ini 6 Nama Pati TNI AD yang Ditunjuk Panglima untuk Pimpin Kodam Baru
Daftar Lengkap Mutasi dan Promosi 44 Pati TNI: 6 Kodam Baru dan Perombakan Besar-besaran Satuan Pasukan Elite