• Senin, 22 Desember 2025

Koalisi Masyarakat Sipil Tegaskan DIM RUU TNI Masih Beri Celah Comeback-nya Dwi Fungsi Tentara

Photo Author
- Jumat, 14 Maret 2025 | 10:00 WIB
Ilustrasi pasukan Kopaska TNI AL. DIM RUU TNI dinilai Koalisi Masyarakat Sipil memberikan celah kembalinya Dwifungsi TNI. (TNI AL)
Ilustrasi pasukan Kopaska TNI AL. DIM RUU TNI dinilai Koalisi Masyarakat Sipil memberikan celah kembalinya Dwifungsi TNI. (TNI AL)


KONTEKS.CO.ID - Daftar Isian Masalah atau DIM Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI telah pemerintah menyampaikan kepada DPR pada 11 Maret 2025 kemarin.

Berdasarkan DIM yang diserahkan, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai draf RUU TNI masih berbau pasal-pasal bermasalah. Pasal-pasal tersebut akan tetap mengembalikan dwi fungsi TNI dan menguatkan militerisme.

"Koalisi masyarakat sipil sejak awal menilai pengajuan revisi terhadap UU TNI tidak urgent. Sebab, UU TNI No 34 Ttahun 2004 masih relevan digunakan untuk membangun transformasi TNI ke arah militer yang profesional. Jadi belum perlu diubah," kata Ikhsan Yosarie (SETARA Institute) dalam keterangan resminya, Jumat 14 Maret 2025.

Baca Juga: Banyak Taksi Listrik Berseliweran di Jalan, Evista Pastikan Tarifnya Kompetitif dengan Taksi Konvensional

Lebih lanjut ia mengatakan, yang perlu diubah oleh pemerintah dan DPR adalah aturan tentang peradilan militer yang diatur dalam UU No 31 Tahun 1997. Tujuannya agar prajurit militer tunduk pada peradilan umum jika terlibat tindak pidana umum. Ini demi menegakkan asas persamaan di hadapan hukum yang ditegaskan dalam Konstitusi.

Koalisi menilai secara substansi RUU TNI masih mengandung pasal-pasal bermasalah. Pertama, perluasan di jabatan sipil yang menambah Kejaksaan Agung dan  Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tidak tepat.

"Dan ini jelas merupakan bentuk dwifungsi TNI. Untuk di kantor Kejaksaan Agung, penempatan ini tidaklah tepat karena fungsi TNI sejatinya sebagai alat pertahanan negara. ESmentara Kejaksaan fungsinya adalah sebagai aparat penegak hukum," timpal Usman Hamid dari Amnesty International Indonesia.

Baca Juga: Fajar dan Rian Main Habis-habisan, tapi Tetap Kalah dari Kang Min Hyuk - Ki Dong Ju di 16 Besar All England 2025

Saat ini sudah ada Jampidmil di Kejaksaan agung. Namun perwira TNI aktif yang menjabat di Kejaksaan Agung itu semestinya harus mengundurkan diri terlebih dahulu.

Kontroversi Pembentukan Jampidmil

Sejak awal di bentuknya Jampidmil, pihaknya sudah mengkritisi keberadaan Jampidmil di Kejaksaan Agung yang sejatinya tidak diperlukan.

Jampidmil hanya menangani perkara koneksitas, harusnya tidak perlu dipermanenkan jadi sebuah jabatan bernama Jampidmil. Untuk kepentingan koneksitas sebenarnya bisa dilakukan secara kasuistik dengan membentuk tim ad hoc gabungan tim Kejaksaan Agung dan oditur militer.

Baca Juga: Jumat Berkah di Bulan Ramadan, Kode Redeem FC Mobile Spesial 14 Maret 2025 Sudah Tersedia Gratis

Terlebih, peradilan koneksitas selama ini juga bermasalah karena seringkali menjadi sarana impunitas. Peradilan koneksitas ini seharusnya dihapus, karena jika militer atau sipil terlibat tindak pidana umum langsung tunduk dalam peradilan umum sehingga tidak perlu koneksitas.

Dengan demikian penambahan jabatan sipil di Kejagung sebagaimana dimaksud dalam RUU TNI tidak tepat, termasuk keberadaan Jampidmil.

Lebih lanjut dia menyampaikan, penempatan TNI aktif di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga tidak tepat. KKP adalah lembaga sipil sehingga tidak tepat ditempati oleh prajurit TNI aktif.

Baca Juga: Main Ulet Melibas Wakil Korsel, Gregoria Melangkah Mulus ke Perempat Final All England 2025

Prajurit TNI aktif yang menduduki jabatan di KKP sudah seharusnya mengundurkan diri.

Koalisi menegaskan, sejatinya yang diperlukan bukanlah perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif.

Namun justru penyempitan, pembatasan dan pengurangan TNI aktif untuk duduk dijabatan sipil sebagaimana diatur dalam UU TNI. "Jadi jika ingin merevisi UU TNI justru seharusnya 10 jabatan sipil yang diatur dalam pasal 47 ayat (2) UU TNI dikurangi bukan malah ditambah," ucap Usman Hamid.

Baca Juga: Saat Mobil Bertenaga Badak Mitsubishi Disulap Jadi Triton Educar, Anak-Anak Langsung Menghampiri

Operasi TNI Diperluas hingga Penanganan Narkotika

Selain itu, penambahan tugas operasi militer selain perang yang meluas seperti menangani masalah narkotika adalah terlalu berlebihan.

Upaya penanganan narkotika semestinya tetap dalam koridor penegakan hukum. Sebagai alat pertahanan negara TNI sepatutnya tidak terlibat di dalamnya.

Penanganan narkotika seharusnya lebih menekankan pada aspek medis dan penegakan hukum pun musti dilakukan secara proporsional bukan represif. Atau justru melalui operasi militer selain perang dengan pelibatan TNI di dalamnya.

Baca Juga: Sabar dan Reza Gunduli Ganda Kuat China Huang Di - Liu Yang di 16 Besar All England

Karena itu, pelibatan TNI dalam penanganan narkotika adalah berlebihan dan akan meletakkan model penanganan narkotika menjadi ”war model"  dengan melibatkan militer di dalamnya.

"Jadi bukan criminal justice sistem model lagi sehingga ini berbahaya karena akan membuka potensi execive power," tegasnya.

Lebih berbahaya lagi, pelibatan militer dalam operasi militer selain perang tidak lagi memerlukan persetujuan DPR melalui kebijakan politik negara. Yakni, kebijakan presiden dengan pertimbangan DPR sebagaimana diatur Pasal 7 ayat 3 UU TNI 34/2004. Tetapi akan di atur lebih lanjut dalam PP sebagaimana diatur dalam draft RUU TNI.

Baca Juga: KPK Ungkap Identitas 5 Tersangka Korupsi di Bank BJB, Salah Satunya Yuddy Renaldi Dirut yang Baru Mengundurkan Diri

Draf pasal dalam RUU TNI ini secara nyata justru meniadakan peran parlemen sebagai wakil rakyat. Selain itu, hal ini akan menimbulkan konflik kewenangan dan tumpang tindih dengan lembaga lain khususnya aparat penegak hukum dalam mengatasi masalah di dalam negeri.

"Koalisi menolak DIM RUU TNI yang disampaikan pemerintah ke DPR karena masih mengandung pasal-pasal bermasalah yang tetap akan mengembalikan Dwi Fungsi TNI dan militerisme di Indonesia," simpulnya.

Karena itu, Koalisi menilaioPernyataan Kepala Komunikasi Presiden yang menilai tidak ada Dwi Fungsi dalam RUU TNI adalah keliru, tidak tepat dan tidak memahami permasalahan yang ada dalam RUU TNI. ***

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Iqbal Marsya

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X