KONTEKS.CO.ID – Kalimat ‘Nyai’ masih cukup akrab terdengar di telinga. Berbeda dengan ‘gundik’ yang jarang terucap. Terlebih di era modern kini.
Membahas Nyai dan Gundik jauh ke belakang, yakni ke zaman kolonial ternyata sangat nestapa. Kalau tak bisa menyebutnya dengan ‘kasihan’.
Ya, pada zaman kolonial Nyai dan Gundik merupakan perempuan-perempuan simpanan atau peliharaan para Meneer Belanda.
Padahal, di Indonesia Nyai justru tak berkonotasi negatif. Seperti sebutan Nyai untuk istri pengasuh pondok pesantren atau Kyai di Jawa.
Di Kalimantan, Nyai berarti gelar untuk wanita terhormat yang bukan keturunan bangsawan. Sementara itu di Jawa Barat, Nyai adalah sebutan umum untuk wanita dewasa.
Buku ‘Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda’, dengan penulis Reggie Bay menyebutkan, bahwa gundik adalah masalah klasik yang sudah lazim di Nusantara.
Reggie Bay mengungkapkan masalah cinta jalur belakang ini di masa penjajahan Belanda di Nusantara. Sejarah mengenai Nyai, perempuan pribumi, Tionghoa, dan Jepang yang hidup bersama lelaki Eropa di masa Hindia Belanda.
Dalam sistem masyarakat feodal masa penjajahan, hubungan pernyaian ibarat memakan buah simalakama, baik bagi tuan putih maupun perempuan pribumi.
Reggie Bay menulis, istilah Nyai berasal dari bahasa Bali. Istilah ini muncul bertepatan dengan momentum perempuan Bali yang juga menjadi gundik atau perempuan simpanan dari orang-orang Eropa.
Kemudian, Pemerintah Kolonial menerbitkan aturan saat masa-masa pertama mereka menginjakkan kaki di Nusantara.
Pada tahun 1630, Pemerintah Kolonial melarang perempuan-perempuan Belanda datang ke Nusantara.
Mereka hanya memperbolehkan istri-istri petinggi VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) saja.
Imbasnya, Batavia penuh dengan pria-pria Belanda dan Eropa kesepian. Akibatnya bisa ditebak, rumah bordil banyak bermunculan di Batavia sejak abad ke-17 untuk menyalurkan nafsu para pria bule tersebut.
Rumah-rumah pemuas nafsu birahi itu bermunculan di sekitar Pelabuhan Sunda Kelapa. Di Mangga Besar pengelolaan rumah bordil dilakukan orang-orang Tionghoa dengan sebutan Macau Po. Musababnya, para penjajanya berasal dari Macau.
Setara Istri Tapi Tak Resmi
Seiring berjalannya waktu, para Meneer Belanda ini lebih memilih gundik dari kalangan para pribumi daripada PSK (baca: pelacur).
Pasalnya, para gundik tak hanya sekadar melayani kebutuhan seksual para Meneer, tapi juga mengurus rumah tangga serta mengawasi para pembantu dalam bekerja.
Meski jadi simpanan para Meneer Belanda, tak sedikit para Nyai mendapatkan cinta dan kasih sayang layaknya suami istri yang sah.
Dari hubungan itu lahir keturunan-keturunan Indo Belanda. Namun, perlakuan VOC terhadap keturunan Indo-Belanda sangat diskriminatif. Anak laki-laki Indo-Belanda tidak bisa berkarier layaknya orang Belanda asli.
Memang mereka bisa jadi pegawai VOC, tetapi hanya sebatas tenaga militer atau juru tulis saja alias pangkat rendahan.
Sementara, anak-anak perempuan Indo mengalami nasib yang tak kalah buruk. Bahkan, anak-anak perempuan Indo banyak jadi PSK di rumah-rumah bordil milik orang Tionghoa.
Nyai Dasima
Nama Nyai Dasima adalah tokoh yang hidup di antara fakta dan fiksi. Sebagian orang menganggapnya benar-benar nyata, sedangkan yang lain meragukan.
Menukil buku “Kisah-kisah Edan Seputar Djakarta Tempo Doeloe” karya Zaenudin HM, tertulis bahwa Nyai Dasima lahir di Desa Kuripan, Bogor, Jawa Barat.
Ketika besar, Dasima mengadu nasib ke Batavia dan bekerja dengan seorang pria Inggris kaya raya bernama Edward William. Tuannya ini ini adalah orang kepercayaan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles.
Kecantikan Dasima membuat Edward jatuh cinta dan menjadikannya gundik. Edward dan Dasima awalnya menetap di Curug, Tangerang. Kemudian mereka pindah ke kawasan Gambir di Batavia.
Suatu hari, Dasima berjalan-jalan di sekitar Senen. Seorang kusir delman bernama Samiun terpesona dengan kecantikannya.
Samiun yang sudah beristri itu lantas bersiasat licik merebut Nyai Dasima dari Edward. Samiun pun kemudian mengguna-guna Dasima.
Nyai Dasima berubah, Samiun di matanya adalah pria tertampan di Batavia yang tak sebanding dengan Edward yang tak lebih dari seorang lelaki tua.
Dasima dan Samiun pun menikah. Saat itu Nyai Dasima memiliki harta 6000 Gulden. Tapi, setelah uangnya habis dikuras Samiun yang gemar berjudi, Dasima kemudian disia-siakan.
Dasima akhirnya dibunuh oleh orang suruhan Hayati, istri pertama Samiun. Mayatnya ditemukan di Kali Ciliwung.
Kisah tentang Nyai Dasima ini juga terdapat dalam buku karangan Gijsbert Francis yang terbit pada tahun 1896. Di layar kaca, kisah Nyai Dasima juga jadi sinetron.
Nyi Itih
Seorang perempuan berasal dari Cigugur Tengah, Kota Cimahi bernama Itih.
Itih menjadi gundik pria Belanda bernama Wilem Walraven pada tahun 1919 yang merupakan anggota Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL).
Pria kelahiran 1887 itu datang ke Hindia Belanda bergabung dengan KNIL.
Datang ke Indonesia pada tahun 1915, Wilem Walraven menjalani sejumlah profesi hingga jadi pengarang dan wartawan majalah Belanda dengan nama samaran Maarten Cornelis (MC).
Awalnya, Wilem Walraven melihat Itih sekitar tahun 1916 di warung tentara pamannya di Cimahi.
Lantaran kerap bertemu, tumbuh benih-benih cinta. Wilem Walraven kemudian memutuskan menjadikan Itih sebagai gundik.
Itih yang telah jadi gundik mendapat sematan Nyai atau nyi di depan namanya. Namun, kadung cinta Wilem Walraven kemudian membawa Itih ke Belanda beserta anak-anak hasil hubungannya dengan Itih.
Sejumlah sumber menyebutkan, Nyi Itih lahir pada tahun 1898 dan meninggal dunia pada tahun 1969.
Nyai Saritem
Kisah Nyai yang kontroversial ini sejatinya hanya urban legend, legenda urban dari mulut ke mulut yang faktanya belum terbukti.
Nama perempuan itu adalah Sari Iteng atau lebih dikenal dengan nama Nyai Saritem.
Menurut buku ‘Saritem Uncensor’ tulisan Wakhudin, Saritem merupakan sosok gadis belia dengan paras jelita. Melihat dari karakter namanya kemungkinan berasal dari Jawa Tengah atau Yogyakarta.
Sosok Saritem kemudian memikat hati tentara Belanda yang kemudian menjadikannya sebagai gundik.
Tentara Belanda kemudian meminta Saritem untuk mencari perempuan lain. Tak hanya dari Bandung, perempuan yang menjadi gundik militer Belanda juga berasal dari daerah lain seperti Sumedang dan Indramayu.
Lambat laun Saritem mengumpulkan semakin banyak perempuan, fenomena gundik itu pun bergeser ke arah lokalisasi di kawasan Gardu Jati, Kota Bandung sekitar tahun 1883.
Saat itu, banyak juga warga yang kemudian menjalani bisnis menyediakan jasa perempuan untuk berkencan. Lama-kelamaan daerah tersebut terkenal dengan nama Saritem.
Namun budayawan Jawa Barat Budi Dalton menyampaikan, sebenarnya Nyai Saritem memiliki nama asli Nyimas Ayu Permatasari.
Menurut Budi Dalton, Saritem justru berjuang menyelamatkan para wanita tuna susila dari cengkraman muncikari.
Nyimas Ayu Permatasari merupakan istri dari seorang Belanda dan tinggal di daerah Kebon Tangkil, di Bandung.
Saat itu, para pelacur banyak yang curhat dan bercerita kepada Saritem bahwa mereka sebenarnya tidak ingin bekerja di pelacuran. Tapi mereka tertipu oleh para germo.
Kepada Nyai Saritem, para pelacur menyatakan ingin berhenti profesinya. Para perempuan itu kemudian mendapat jampi-jampi agar tidak laku hingga kemudian sang germo memulangkannya.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"