KONTEKS.CO.ID – Nama Laksamana Madya Udara Omar Dhani praktis tenggelam pada masa pemerintahan Soeharto. Rezim Orde Baru menganggapnya sebagai pengkhianat karena dugaan keterlibatan dalam peristiwa G30S PKI. Padahal di masa Soekarno berkuasa, Omar Dhani adalah penglima angkatan perang termuda sepanjang sejarah Indonesia merdeka.
Pasca pembunuhan para jenderal Angkatan Darat (AD), Omar Dhani menjalani persidangan di Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub). Majelis hakim Mahmilub pada 25 Desember 1966 menjatuhkan vonis mati dan pemecatan dari dinas militer.
Sejak itu dunia Omar Dhani hancur berantakan. Karier militer cemerlangnya lenyap begitu saja seperti debu tertiup angin.
Panglima AU Termuda Sepanjang Sejarah
Beberapa tahun sebelum tragedi 1965, bintangnya begitu bersinar. Dhani merupakan Kepala Staf Angkatan Udara termuda dalam sejarah Republik. Usianya baru 38 tahun ketika ia menyandang pangkat bintang tiga di pundaknya, Laksamana Madya Udara (belum berubah menjadi Marsekal).
Presiden Soekarno sendiri yang melantiknya menjadi Menteri Panglima Angkatan Udara (Menpangau) pada 19 Januari 1962. Sejak itu, anak dari asisten wedana di Gondangwinangun, Klaten ini menjadi loyalis Presiden Soekarno. Lelaki yang terlahir dengan nama Raden Mas Omar Dhani itu setia kepada Soekarno tanpa syarat.
Bersama-sama dengan Jenderal Ahmad Yani dan Soebandrio, Omar Dhani mendapat julukan ‘anak emas’ Soekarno. Di medio tahun 1960-an, banyak kalangan menyebut ketiga nama tersebut paling berpotensi menggantikan Soekarno sebagai presiden.
Pada masa kepemimpinan Omar Dhani, itu Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) sedang berada di puncak kejayaan. Dunia bahkan menyebut AURI sebagaiu ‘kekuatan udara terkuat di belahan bumi selatan’.
Penyebabnya, karena kedekatan Indonesia dengan Uni Soviet semasa itu, AURI memiliki beragam pesawat tempur canggih keluaran negeri beruang merah.
AURI Punya 200 Pesawat
Pada masa itu AURI memiliki puluhan pesawat Mikoyan-Gurevich (MiG-21) berbagai seri terbaru dan tercanggih. Salah satunya adalah pesawat Supersonic MiG-21.
Menurut catatan Tomi Lebang dalam “Sahabat Lama, Era Baru: 60 Tahun Pasang Surut Hubungan Indonesia-Rusia” (terbit 2010, halaman 102-103), AURI mendapat pesawat-pesawat MIG-21, Ilyusin-28, TU-16 (Tupolev), dan pesawat angkut Antonov beserta 3 satuan pertahanan udara lengkap dengan roket dan radarnya.
Buku “Tindakan Pilihan Bebas!: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri” karya PJ Drooglever pada 2010 menyebut, (2010: 385) menyebut para awak tempur Indonesia mendapat pelatihan di Cekoslowakia dan Mesir. Drooglever menulis, di masa itu AURI memperoleh 50 (pesawat) pemburu jet, 20 pesawat angkut, dan pesawat pembom dalam jumlah sama.
Pesawat pembom yang didapat Indonesia, menurut M. Ricklefs dalam “Sejarah Indonesia Modern 1200-2008”, adalah pesawat pembom jarak jauh, yaitu Tupolev TU-16. Armada ini bertempat di Pangkalan Udara Maospati, Magetan.
Hingga 1965, seperti Victor M Vic dalam “Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi tentang Konspirasi” mencatat pasokan pesawat Uni Soviet ke Indonesia meliputi 60 pesawat pemburu MiG-15 dan MiG-17, 40 pesawat pembom jenis Ilyushin Il-20, pembom jarak jauh Tupolev TU-16, dan beberapa MiG-20.
Total Indonesia menerima sekitar 200 pesawat dari Soviet dan sekutunya.
Tetapi “kekuatan udara superior di belahan bumi selatan” itu lenyap seiring dengan pembersihan organisasi militer di tiga matra oleh penguasa Orde Baru.
Sejak awal tahun 1970-an hingga akhir tahun 1970-an, bisa dibilang kekuatan udara Indonesia nyaris lumpuh. Penyebabnya adalah ketiadaan suku cadang mengingat hubungan Indonesia dengan Uni Soviet dan RRC terganggung pasca peristiwa G30S PKI.
Imbasnya, seluruh pesawat canggih AURI buatan Uni Soviet grounded atas permintaan Amerika. “Sebagai gantinya, Amerika memberi AURI pesawat jet tempur kuno jenis F86 Sabre yang hanya sekelas MiG-15,” tulis Bapak Angkatan Udara Marsekal Suryadi Suryadarma dalam biografinya.
Omar Dhani yang Tergesa dan Isu Penyerbuan Kostrad
Lalu kenapa jenderal tertinggi di AU itu bisa terseret ke pengadilan dan menjadi pesakitan?
Sejarawan Asvi Warman Adam dalam buku “Menguak Misteri Sejarah” menyebutkan, Omar Dhani mengambil langkah tergesa-gesa yang berakibat fatal dalam hidupnya. “Awalnya dia menganggap G30S bagian dari konflik internal AD. Itu sebabnya ia langsung mengeluarkan surat perintah harian yang menyebut bahwa AURI tidak turut campur dalam G30S,” tulis Asvi.
Selain itu, AURI juga setuju dengan setiap gerakan pembersihan yang diadakan dalam tubuh tiap alat revolusi sesuai garis Presiden Soekarno. Setelah perintah itu tersiar, baru ketahuan bahwa dalang G30S adalah PKI.
Akibat terlalu terburu-buru mengeluarkan perintah harian, Omar Dhani dan AURI langsung mendapat cap sebagai pendukung. Lebih parah lagi, AURI dituduh sebagai salah satu unsur pelaksana dalam gerakan G30S PKI.
Tetapi yang paling membuat posisi Omar Dhani semakin sulit adalah gesekannya dengan Soeharto yang kian meruncing.
Musababnya, berembus isu bahwa pesawat Angkatan Udara akan membom markas Kostrad pada 1 Oktober 1965. Soeharto gusar dan kemudian memindahkan markas Kostrad ke Senayan dan kemudian ke Gandaria.
Saat membacakan pledoi di persidangan, Omar Dhani membantah pernah memerintahkan untuk menghantam Kostrad.
Salah Paham Akibat Radiogram
Setelah perintah harian yang tergesa-gesa dan isu pemboman markas Kostrat, ada lagi salah paham antara Omar Dani dan Soeharto.
Ceritanya, setelah penculikan para Jenderal AD, Dhani sempat meminta Komodor Udara Leo Wattimena mengirimkan radiogram kepada Panglima Kostrad Mayjen Soeharto. Isinya meminta agar Soeharto tidak menggerakkan pasukannya memasuki Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma untuk mengejar pasukan Batalyon 454 Raiders. Sebab Pasukan Gerak Tjepat (PGT) AURI telah menghalau karena pasukan tersebut.
Setelah menitipkan pesan itu kepada Leo Wattimena, Dhani tertidur dan tidak sempat memeriksa kembali isi radiogram tersebut.
Ternyata Leo Wattimena menerjemahkan maksud Dhani dalam pesan radiogram secara singkat, padat, dan tegas. “Jangan masuk Halim. Kalau masuk Halim akan dihadapi” bunyi pesan radiogram ke markas Kostrad itu.
Jurnalis senior James Luhulima dalam buku “Menyingkap di Hari Tergelap di Tahun 1965” mengatakan bahwa radiogram itu menimbulkan kesan seolah AURI memberi ultimatum kepada Panglima Kostrad.
Berita yang tersebar ke luar negeri menimbulkan kesan seolah Angkatan Udara berperang melawan Angkatan Darat.
Dhani sendiri baru tahu mengenai isi radiogram itu setelah menjalani penahanan di Cibogo, Bogor. Dhani kaget begitu mengetahui isi radiogram yang dikirimkan Leo terlalu keras.
Hari-hari selanjutnya semakin berat bagi Omar Dhani.
Soekarno ‘Tugasi’ Omar Dhani
Tekanan terhadap Omar Dhani dan AURI semakin berat. Dalam sidang kabinet 6 Oktober 1965, sebagian besar menteri tidak ramah kepadanya. “Hanya Menteri Kesehatan Prof Dr Mayjen Satrio yang masih tetap bersikap biasa,” kata Dhani dalam buku biografi “Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran dan Tanganku”.
Ia pun mengajukan surat pengunduran diri sebagai Menpangau. Awalnya Soekarno menolak pengunduran diri itu.
Tetapi demi menghindari friksi antarangkatan, Bung Karno menugaskan Dhani melakukan perlawatan ke negara-negara Eropa dan Asia untuk menjajaki kerja sama luar negeri. Untuk sementara jabatan Panglima AURI dipegang oleh Sri Mulyono Herlambang.
Tiga hari sebelum berangkat, Dhani bersama Sri Mulyono Herlambang menghadap Presiden Soekarno untuk berpamitan. Sembari berbincang, Dhani bertanya, “Pak, apakah Bapak masih percaya kepada saya?”
Soekarno menjawab, “Jangan ragu, aku tetap percaya kepada dirimu. Sasaran mereka bukan dirimu. Kamu dan Soebandrio hanya sasaran semu, sasaran sebenarnya adalah diri saya.”
Pada 19 Oktober 1965 ia berangkat bersama istrinya yang sedang hamil besar bersama anak-anaknya ke Phnom Penh, Kamboja, menggunakan pesawat Hercules.
Di Phnom Penh, Omar Dani menyewa rumah tak jauh dari Konsulat Jenderal Indonesia. Selama hampir enam bulan dia tinggal di rumah itu.
Sementara di Jakarta, Soekarno mulai kehilangan kekuatan. Kekuasaannya goyah sejak terbitnya Supersemar. Perlahan, posisi politik Soeharto semakin kuat.
Omar Dhani pun menjadi ‘buruan’ Soeharto. Panglima AD ini mengerahkan personel intelijen untuk memata-matai kegiatan Dhani di Kamboja. Orang yang mendapat tugas untuk memata-matai Dhani adalah Kolonel Nicklany Soedardjo. Nicklany adalah sahabat dekat sekaligus teman SMA Dhani semasa di Solo.
Belakangan Omar Dhani tahu bahwa Nicklany berada di luar negeri karena tugas dari Soeharto dan Nasution. Sejak Desember 1965, Nikleany yang bertugas di Seskoad mendapat perintah untuk menguntit Omar Dhani ke luar negeri.
Di satu sisi Nicklany memang menjalankan tugasnya sebagai perwira yang mengikuti perintah atasan, namun di sisi lain ia juga memperlihatkan diri sebagai kawan yang baik bagi Omar Dhani.
Dilema Dua Pilihan Omar Dhani
Selama berada di pengasingan, Omar Dhani mengalami. Ada konflik batin antara pilihan pulang ke Indonesia atau menetap di Kamboja. Sebuah pilihan yang sulit mengingat istri dan lima anaknya ikut serta.
Jika memilih kembali ke Indonesia, Dhani yakin bakal menjadi pesakitan politik oleh kelompok Soeharto.
Sebenarnya Dhani bisa saja mencari selamat dengan menetap di luar negeri bersama keluarganya dengan keahliannya sebagai penerbang. Atau jika mau, tidak sulit baginya meminta suaka politik kepada Pangeran Norodom Sihanok dan tetap tinggal di Kamboja.
Akhirnya Dhani memutuskan untuk kembali ke Indonesia dan mempertanggungjawabkan segalanya
kepada negara. Ia memilih untuk menanggung tindakan politiknya di depan Mahmilub ketimbang melarikan diri sebagai pengecut di luar negeri.
Pada 20 April 1966 Omar Dhani dan keluarga mendarat di Jakarta dengan pesawat C-130 milik AURI. Ia dan keluarganya langsung menuju komplek peristirahatan AURI di Cibogo, Bogor. Dari sana ia pindah ke Rumah Tahanan Militer Nirbaya.
Di pengadilan, majelis hakim Mahmilub menjatuhkan vonis mati karena menilai Omar dhani terbukti melakukan makar. Mahmilub juga memecatnya dari militer dan mencabut seluruh tanda jasa dari Presiden Soekarno.
Tetapi Omar Dhani tidak pernah menjalani eksekusi hukuman mati. Pada 14 Desember 1982 ia mendapat grasi dari Presiden Soeharto. Hukumannya diubah menjadi seumur hidup. Pada 15 Agustus 1995, setelah meringkuk di dalam penjara selama hampir 30 tahun, Omar Dhani dan Soebandrio dibebaskan karena faktor usia.
Omar Dhani meninggal pada 24 Juli 2009 di Rumah Sakit Pusat Angkatan Udara (RSPSAU) dr Esnawan Antariksa, Jakarta. Ia berpulang pada usia 85 tahun.
Omar Dhani disemayamkan di Skuadron Udara 17 Lanud Halim Perdanakusuma dan dimakamkan di TPU Jeruk Purut, Jakarta Selatan.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"