KONTEKS.CO.ID – Xanana Gusmao adalah legenda hidup sekaligus pahlawan di mata rakyat Timor Leste. Pada era Timor Leste masih jadi bagian dari Indonesia di masa Orde Baru, pria ini adalah orang yang buruan utama tentara Indonesia.
Kini, Xanana Gusmao yang juga presiden pertama Timor Leste itu kembali menjabat Perdana Menteri Timor Leste untuk kali kedua.
Ia pertama kali menjabat PM pada 2002-2007, kemudian menjadi Menteri Perencanaan dan Investasi Strategis selama dua tahun. Xanana juga dua kali menjabat Menteri Pertahanan dan Keamanan Timor Keste.
Di masa perjuangannya, Xanana Gusmao – lengkapnya Jose Alessandro Gusmao, punya jabatan mentereng. Ia adalah panglima tertinggi Falintil, sayap militer dari Frente Revolucionária de Timor-Leste Independente atau Fretelin.
Xanana Gusmao mengambil alih posisi komandante gerilyawan Fretelin setelah Presiden Fretelin Nicolao Lobato tertembak mati dalam pertempuran melawan ABRI pada 31 Desember 1978. Lobato tewas dalam kepungan pasukan gabungan Yon Parikesit pimpinan Prabowo Subianto yang berisikan prajurit dari kesatuan elite Kopassandha (Kopassus), Marinir, serta Paskhas (kini Kopasgat).
El Commandante ini memimpin gerilyawan Fretilin melawan tentara Indonesia yang jauh lebih kuat dari pasukannya.
Tapi Xanana punya kecerdasan yang tinggi. Menggunakan taktik perang gerilya, Xanana Gusmao adalah pemimpin militer yang terkenal tangguh. Karena sangat menguasai medan, berkali-kali ABRI gagal menangkapnya karena selalu lolos dari sergapan.
Xanana Gusmao, Tetap Tersenyum Saat Tertangkap
Nasib apes menghampirinya pada 20 November 1992. Jumat pagi itu, tim gabungan 40 ribu prajurit ABRI dari Kopassus dan berbagai kesatuan lain mengepung kawasan pegunungan di dekat kota Ainaro. Pasukan gabungan itu mengepung lokasi agar Xanana tidak bisa lolos lagi.
Tim Kopassus mendapat tugas untuk masuk menangkap dan menyergap Xanana. Berdasarkan laporan intelijen, tempat persembunyian Xanana ada di sebuah lereng terjal dengan sungai di bawahnya.
Saat tim menerobos masuk ke sebuah pondok, ternyata tidak ada orang di dalamnya.
Namun naluri para prajurit terlatih itu melihat ada yang mencurigakan di pondok tersebut. Salah seorang anggota tim kemudian menggeser sebuah lemari. Ternyata benar, ada lubang yang ditutupi plastik.
“Saat penutup plastik dibuka, dengan tenangnya Xanana keluar dari bawah. Ia mengangkat kedua tangannya sembari tersenyum dan tidak menunjukkan rasa takut sama sekali,” ujar Lettu Bambang Ismawan, perwira Kopassus yang ikut menangkap Xanana kala itu.
Mengutip buku “Kopassus untuk Indonesia” karya Iwan Santosa dan EA Natanegara (2009), Bambang menyebut tim sudah siap menembak karena menyangka Xanana akan memberikan perlawanan. Namun komandan gerilya menyerah dengan sikap santun.
Dalam wawancara di acara “Mata Najwa” yang tayang di kanal Youtube Narasi, jurnalis Najwa Shihab juga sempat menanyakan perihal senyuman Xanana saat tertangkap oleh ABRI.
“Bagaimana Xanana masih bisa tersenyum dan tidak tersirat rasa takut sedikit pun pada saat itu? Kenapa tidak ada rasa takut di sini?” tanya Najwa sambil menunjukkan foto penangkapan.
Dengan sedikit berseloroh Xanana menjawab, “Karena saya tidak tahu menangis.”
Xanana mengaku sudah terbiasa dengan berbagai situasi dalam perang. Bahkan sebelum menjadi Panglima Falintil, ia merupakan seorang dokter di medan perang.
Multiperan yang Humanis
Xanana adalah seorang multiperan. Ia pejuang revolusi, dokter, penulis, pemimpin gerilyawan, diplomat, sekaligus ahli militer. Xanana bak Che Guevara dari Timor Leste.
Ia kerap mengobati tentara Indonesia yang tertangkap dan tertembak yang notabene adalah musuhnya. Xanana mengatakan, “jika seorang musuh dalam keadaan terluka dan sudah tidak bersenjata, musuh tersebut bukan lagi menjadi musuh, melainkan manusia.”
Sikap humanis seorang Xanana bukan sekadar rangkaian kata-kata manis di hadapan Najwa Shihab yang mewawancarainya.
Kay Rala, nama Xanana pemberian dari pihak ibu, sudah mempraktikkannya tatkala perang antara ABRI dan Fretelin sedang gencar-gencarnya di era 1970-an. Mantan anggota Fretelin Jose De Consenciao bersaksi, Xanana melarang anak buahnya membunuh tawanan.
“Jika yang tertangkap adalah rakyat biasa, Xanana menyuruh mereka dibebaskan. Tawanan dari ABRI pun diperlakukan dengan sangat baik oleh Xanana,” sebut Jose.
Ketika terjadi pertempuran di Gunung Matebian – salah satu pertempuran terberat di era operasi Timor Timur – personel ABRI Sersan Edi tertembak kakinya. Pasukan Xanana menangkap Edi dan menyembunyikannya di sebuah gua.
“Di dalam gua itu Xanana malah mengobatinya dengan ramuan tradisional,” ucap Jose dalam wawancara di Harian Kompas edisi 1993 silam.
Kendati relasi Xanana dan ABRI kala itu bak buronan dan pemburu, sikap humanis Xanana terhadap musuh tak pernah luntur. Ia seolah ingin menunjukkan bahwa posisinya adalah sebagai pejuang kemerdekaan, bukan kelompok buas seperti tudingan terhadapnya.
Kualitas seperti itu membuat rakyat Timor Leste segan kepada Xanana.
Berawal dari Konflik Tiga Partai
Latar belakang perlawanan Xanana bermula dari konflik politik di Timor Leste pada 1975. Saat itu ada tiga faksi politik kuat yang saling berebut pengaruh, yakni Partai UDT, Fretelin, dan Apodeti.
UDT menginginkan Timor-Timur tetap menjadi koloni Portugal. Sedangkan Fretelin menghendaki kemerdekaan dan menjadi negara sendiri. Sementara Apodeti ingin agar Timor-Timur bergabung dengan Indonesia.
Apodeti yang ingin bergabung dengan Indonesia paling lemah pengaruhnya, kalah dari UDT dan Fretelin.
Saat itu terjadi persaingan sengit antara UDT yang ingin mempertahankan status quo di bawah Portugal melawan keinginan merdeka dari Fretelin. UDT menuduh Fretelin akan membawa Timor- Timur menjadi negara komunis.
Perseteruan ini berujung pada konflik berdarah. Banyak warga Timor-Timur yang mengungsi Ke kawasan perbatasan yang dekat dengan wilayah Indonesia.
Pada 28 November 1975 Fretilin menurunkan bendera Portugal dan mendeklarasikan kemerdekaan Timor-Timur sekaligus meresmikan kabinet beranggotakan 18 orang. Pendiri Fretelin Xavier do Amaral didapuk menjadi presiden dan Nicolao Lobato sebagai wapres merangkap perdana menteri.
Hantu Komunisme, Pintu Masuk Cawe-cawe Soeharto
Polemik di Timtim ternyata membuat pemerintahan Orde Baru cemas. Presiden daripada Soeharto merasa khawatir jika nantinya Timtim akan menjadi negara komunis. di sisi lain, Soeharto tidak rela Timtim terus berada di bawah penguasaan Portugal.
Soeharto kemudian menjalin komunikasi dengan Presiden AS Gerald Ford Jr. Selanjutnya pada 6 Desember 1975 Presiden Ford dan Menlu Henry Kissinger datang ke Jakarta menemui Soeharto. AS tentu tak ingin Timtim merdeka di bawah Fretelin kian condong ke kiri mengingat saat itu perang dingin AS-Uni Soviet sedang sengit-sengitnya.
‘Chega! Laporan Komisi Penerimaan Kebenaran dan Rekonsiliasi di timor Leste’ menulis, sehari setelah pertemuan antara Soeharto, Ford, dan Henry Kissinger, militer Indonesia menginvasi Timtim lewat Operasi Seroja.
Dalam dokumen transkrip pertemuan antara Soeharto dengan Ford dan Kissinger yang terpublikasi tanpa sensor pada 7 Desember 2001, salah satu isinya adalah pemerintah AS secara sengaja membiarkan invasi militer Indonesia ke Timtim.
Selain itu, merujuk pada laporan Washington Post, terkuak juga bahwa AS menyuplai 90% senjata untuk militer Indonesia dalam upaya invasi tersebut.
Kissinger menyebut Indonesia bukan menginvasi Timtim bukanlah intervensi militer, melainkan bentuk mempertahankan diri.
Soeharto sendiri menyebut wilayah kecil dan minim sumber daya seperti Timtim tidak layak menjadi negara merdeka. Namun bila menjadi bagian dari Portugal, tentu akan menjadi beban besar karena negara induk berada sangat jauh.
Sedangkan bila bergabung dengan Indonesia yang independen juga tidak mungkin karena Indonesia berbentuk negara kesatuan. “Satu-satunya cara adalah mengintegrasikan ke Indonesia,” ujar Soeharto.
Operasi Seroja Penanda Perlawanan Panjang Xanana
Pada 7 Desember 1975, terjadilah operasi Seroja operasi sebagai respons atas tindakan Partai Fretilin mendeklarasikan kemerdekaan Republik demokratik Timtim. Operasi Seroja disebut-sebut sebagai operasi militer terbesar yang pernah dilakukan Indonesia dengan melibatkan semua unsur darat, laut, dan udara.
Pertempuran ini diperkirakan menewaskan sekitar 100.000 hingga 180.000 korban jiwa yang terdiri dari tentara dan warga sipil.
Sejak itulah jalan panjang perlawanan Xanana kepada Soeharto dimulai, secara politik maupun militer. Harapan Xanana Gusmao bersama Fretelin yang ingin memerdekakan Timtim kandas setelah wilayah ini bergabung dengan Indonesia dan menjadi provinsi ke-27 sejak 1976.
Meski begitu, Xanana Gusmao tetap bergerilya dengan memakai nama samaran Kay Rala. Falintil sendiri sejak 1987 telah berganti rupa menjadi angkatan bersenjata pembebasan nasional.
Tetapi Orde Baru sengaja mengerdilkan Xanana dan pasukannya dengan hanya menyebut mereka sebagai GPK atau gerombolan pengacau keamanan. Bahkan Jenderal LB Moerdani mengecilkan Xanana dengan menyebutnya ‘seorang kriminal biasa dan tikus yang yang mampu menyatukan pengikutnya’.
Semangat perlawanan Xanana dan pasukannya tak kunjung melemah. Dalam sebuah wawancara Xanana menyebut bahwa perlawanan bersenjata sudah tidak efektif dan tidak mungkin mereka menangkan. Mereka mengubah pola dengan melakukan pergerakan bawah tanah yang terorganisir untuk memperjuangkan kemerdekaan.
Akhirnya kesempatan itu datang setelah Soeharto jatuh pada 21 Mei 1998. BJ Habibie yang menjadi presiden menggantikan Soeharto menawarkan referendum dengan pilihan merdeka atau tetap ikut Indonesia dengan otonomi khusus.
Dalam buku “Detik-detik yang Menentukan” Habibie mengatakan, berbagai pihak di forum internasional sudah mengajukan referendum sebagai opsi penyelesaian status Timtim. Alasannya, setiap bangsa berhak untuk menentukan nasibnya sendiri.
Kebijakan Habibie ini menuai banyak pujian, terutama di Timor Leste. Bahkan saking cintanya rakyat negeri itu kepada Habibie, pada 2019 lalu namanya diabadikan menjadi nama jembatan. Jembatan BJ Habibie sepanjang 540 meter dan lebar 8 meter di desa Bidau Santana, Dili, dibangun oleh BUMN Timor Leste dengan biaya sebesar USD3,9 juta.
Persahabatan Xanana dan Habibie
Sebagai mantan Presiden Timor Leste, Xanana sendiri yang mengantarkan undangan untuk menghadiri peresmian jembatan tersebut kepada Habibie pada 22 Juli 2019. Sayangnya saat itu Mr Crack – sapaan akrab Habibie, tengah terbaring sakit di RSPAD Gatot Subroto.
Sebuah video yang menggambarkan momen manis Xanana Gusmao menjenguk Presiden ketiga RI itu viral di dunia maya. Dalam video itu, keduanya saling berpegangan tangan dan berpelukan.
Xanana pun sempat mengecup kening Habibie yang tengah terbaring. Ia kemudian membaringkan kepalanya kepada sang kakak dan Habibie mengelus kepala itu penuh kasih.
Relasi pribadi antara Xanana dan Habibie memang sangat kuat dan mendalam. Sebab di mata mantan wartawan dan pemain bola ini, jasa Habibie tidak hanya memberikan referendum bagi Timtim, tetapi juga membebaskannya dari status napi politik di LP Cipinang.
Tak lama setelah itu, pada 11 September 2019 Habibie wafat. Xanana merasa sangat kehilangan sosok seorang guru, sahabat, sekaligus kakak baginya.
Tak hanya dengan Habibie, Xanana juga bersahabat dengan Presiden Megawati dan Presiden SBY, dan Presiden Jokowi. Jokowi mendukung Timor Leste ikut bergabung dalam komunitas ASEAN.
Bahkan SBY menganugerahkan penghargaan Bintang Republik Indonesia Adipurna kepada Xanana Gusmao pada 2004. Penghargaan Bintang Republik Indonesia Adipurna tersebut merupakan penghargaan yang tertinggi dari pemerintah Indonesia kepada warga negara asing.
Hingga kini hubungan Xanana dengan Indonesia, negara yang pernah menjadi bagian gelap perjuangannya, begitu kuat dan erat.
Begitulah Xanana, tak ada dendam di hatinya meskipun bertahun-tahun terlibat perang dengan ABRI, ditangkap dan dijatuhi hukuman 20 tahun penjara oleh Orde Baru. Ia membuktikan bahwa perangnya adalah perang melawan pendudukan atas Timtim, bukan terhadap bangsa Indonesia.***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"