KONTEKS.CO.ID – Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudistira, mengatakan, Indonesia perlu restrukturisasi aliran pendanaan untuk mencapai visi surya 100 GW.
“Dengan biaya modal proyek energi bersih di Indonesia yang dua kali lebih mahal dibanding negara maju, pemerintah harus segera mengalihkan insentif fiskal,” kata Bhima dalam keterangan diterima pada Senin, 17 November 2025.
Langkah selanjutnya, ujar Bhima, memutus arus kredit ke PLTU batu bara dan menurunkan risiko investasi energi terbarukan.
Menurut dia, integrasi program di pedesaan dan wilayah perbatasan dengan pembangunan PLTS juga mendesak.
“Tanpa langkah ini, target 100 GW PLTS hanya akan menjadi slogan, bukan game changer pertumbuhan ekonomi,” kata Bhima.
Ia menegaskan, transisi ke energi hijau harus menjadi fokus yang perlu dijalankan Pemerintah Indonesia.
Baca Juga: Subsidi Listrik Tembus Rp89 Triliun, Pemerintah Kembangkan PLTS sebagai Solusi Jangka Panjang
Sebab, studi CELIOS terkait ‘Dampak Ekonomi Ekspansi Pembangkit Gas’ mengungkap, mempertahankan energi fosil, baik batu bara maupun gas, justru akan mendorong kerugian ekonomi, kesehatan, dan lingkungan yang dapat mencapai ratusan triliun rupiah dalam jangka panjang.
Sebaliknya, program PLTS 100 GW yang ditargetkan Presiden Prabowo dapat menjadi mesin kesejahteraan berkelanjutan bagi Indonesia.
Direktur Eksekutif SUSTAIN, Tata Mustasya, berpandangan forum COP30 dapat menjadi momentum strategis bagi pemerintah untuk menerjemahkan ambisi ini menjadi kebijakan konkret.
Ambisi tersebut yakni mendorong listrik dengan harga lebih murah sekaligus mengurangi subsidi energi dalam APBN, menciptakan pekerjaan hijau dan kedaulatan energi.
Kombinasi antara inovasi pembiayaan dan koordinasi kebijakan menjadi kunci untuk memastikan implementasi berjalan.