Biaya modal yang tinggi mendorong kenaikan beban pembiayaan, sehingga sulit menghasilkan imbal hasil yang menarik, terutama untuk proyek-proyek energi bersih yang membutuhkan investasi besar di awal.
“Mobilisasi pendanaan US$ 1,3 triliun per tahun tidak akan tercapai tanpa penurunan biaya modal di negara berkembang, termasuk Indonesia,” kata Tiza.
Ia menyampaikan, biaya modal negara-negara berkembang termasuk Indonesia Inodonesia, kini bisa mencapai 8–12 persen, atau dua kali lipat negara maju.
Baca Juga: Dukung Net Zero Emission, Pertamina Luncurkan PLTS Canggih di Balikpapan
“Jika kita tidak menurunkan biaya modal untuk proyek energi bersih, maka target Presiden Prabowo untuk 100 GW PLTS dalam satu dekade akan sulit tercapai,” ujar Tiza.
Menurut Tiza, reformasi tidak hanya perlu dilakukan pada sisi pendanaan, namun juga dari sisi arsitektur kebijakan, mulai dari instrumen penjaminan, insentif fiskal, hingga konsistensi regulasi di seluruh level.***