KONTEKS.CO.ID – Country Director Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak, mengingatkan, sejak COP 2015 di Paris, Prancis, dunia telah bersepakat untuk tidak memberi ruang bagi ekspansi energi fosil.
Leonard dalam pernyataan dilansir pada Rabu, 12 November 2025, menegaskan, peningkatan pemakaian energi gas bumi dan masih dominannya batu bara dalam bauran energi Indonesia sepuluh tahun ke depan, merupakan pengingkaran terhadap semangat COP.
Menurutnya, kebijakan transisi energi Indonesia sejatinya tidak dibangun atas kesadaran bahwa krisis dan bencana-bencana iklim sudah mengancam kemanusiaan.
“[Ini] lebih didasarkan pada politik transaksional yang lebih mengakomodasi kepentingan-kepentingan oligarki energi fosil,” ujarnya.
Dalam beberapa pertemuan global, Presiden Prabowo Subianto menyatakan komitmen transformasi menuju 100 persen energi bersih dalam satu dekade mendatang.
Direktur Eksekutif CERAH Agung Budiono mengatakan, pernyataan tersebut harus diterjemahkan secara konkret dalam seluruh kebijakan energi nasional.
“Namun, faktanya menunjukkan arah kebijakan terkait transisi energi bersih masih kontradiktif,” kata Agung.
Dokumen seperti Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik PLN 2025-2034, dan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional 2025–2045, masih menempatkan batu bara dan gas sebagai sumber utama pasokan energi nasional hingga lebih dari 60 persen dalam dua dekade mendatang.
“Jika tidak ada koreksi menyeluruh, maka pernyataan politik Presiden Prabowo hanya akan berhenti sebagai retorika tanpa pijakan kebijakan yang nyata,” ujar Agung.
Ia menilai komitmen Indonesia di panggung global seperti COP30 yang tertuang lewat Second Nationally Determined Contribution (SNDC) dan target Net Zero Emission 2060 atau lebih cepat menuntut keberanian untuk melakukan reformasi kebijakan energi.
Pemerintah harus memastikan agar peta jalan transisi energi nasional benar-benar berpihak pada energi terbarukan yang bersih dan berkeadilan.
Tanpa penyelarasan antara komitmen internasional dan kebijakan domestik, Indonesia berisiko kehilangan kredibilitas di mata global dalam green momentum di kawasan.***