KONTEKS.CO.ID – Gaya komunikasi Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa kembali memakan korban.
Kali ini, Menkeu Purbaya menyerang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Ia mengangkat masalah perbedaan antara kondisi likuiditas perbankan di atas kertas dengan kenyataan di lapangan. Di mana OJK, BI, dan LPS menyatakan likuiditas bank dalam kondisi "ample" alias berlebih. Sementara kondisi riil di lapangan nggak sepenuhnya memperlihatkan hal tersebut.
Baca Juga: Jimmy Kimmel Sindir Prabowo di Acara TV AS: Pertama Kalinya Ada yang Mau Ketemu Eric Trump!
“Kalau Anda tanya OJK, selalu bilang ample, dari zaman dulu juga begitu. Dari zaman Agustus, ample banyak duit, tapi duitnya di BI,” ungkap Purbaya, Sabtu 18 Oktober 2025.
Menurut dia, penempatan dana pemerintah di Bank Pembangunan Daerah (BPD) justru dipicu kondisi lapangan yang mengindikasikan masih adanya kebutuhan likuiditas di daerah.
Ia mencontohkan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, yang meminta agar pemerintah pusat menempatkan dana di BPD Jawa Timur. Tujuanya untuk didistribusikan ke bank-bank lain di wilayah tersebut dengan bunga yang lebih kompetitif.
Baca Juga: Comeback Manis Ubed Berbuah Tiket Final BWF World Junior Championships 2025
“Kalau saya ngomong dengan bank daerahnya, waktu itu saya ketemu Bu Khofifah. Mereka minta bisa nggak ke kami, karena dari situ akan disalurkan ke bank-bank BPD lain di Jawa Timur, dengan bunga murah yang mereka suka,” paparnya.
Untuk itu, mantan bos LPS itu mengkritik OJK dan lembaga lain yang perlu memperbarui alat ukur dalam menilai likuiditas perbankan supaya lebih akurat mencerminkan kondisi di lapangan.
Bahkan, tegas dia, dirinya sudah sejak lama mendorong pembaruan indikator di forum Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
“Bacaan bahwa kondisi bank banyak duit sudah terjadi setiap tahun, dari 2020 hingga sekarang. Namu kalau lihat datanya, ke bank susah, tight. Jadi mesti dilihat Kembali alat ukur yang pas dalam melihat kondisi likuiditas yang real,” tandasnya.
Indikator umum yang saat ini digunakan seperti AL per NCD atau AL per DPK sudah tidak cukup memperlihatkan kondisi sebenarnya di sektor keuangan.
Dengan demikian, Purbaya meminta lembaga terkait mengembangkan sistem pengukuran anyar yang dapat berfungsi sebagai early warning system atas potensi tekanan likuiditas.