KONTEKS.CO.ID - Nilai tukar rupiah diprediksi akan terus mengalami pelemahan signifikan dan berpotensi mencapai level psikologis baru pada akhir tahun.
Pengamat ekonomi Yanuar Rizky memperkirakan, rupiah bisa menyentuh angka Rp17.000 per dolar AS pada akhir 2025, dengan batas bawah keseimbangan baru (new equilibrium) berada di level Rp16.500.
"Kalau keseimbangan baru itu kan sebenarnya susah balik lagi ke belakang, ke yang lama," kata Yanuar dalam sebuah video yang tayang di kanal Youtube Forum Keadilan TV pada Sabtu, 27 September 2025.
Baca Juga: 3 Dosa Sistemik Polri Menurut Reza Indragiri, Jauh Lebih Gawat dari Brutalitas!
Ia mengindikasikan bahwa era rupiah di level 15.000-an atau bahkan 16.200 akan sulit untuk kembali dalam waktu dekat.
Tren pelemahan ini, menurutnya, merupakan pola konsisten yang telah terjadi sejak The Fed melakukan tapering off pada 2011, di mana rupiah secara perlahan namun pasti terus mencari titik keseimbangan baru yang lebih tinggi (melemah).
Kebijakan Populis dan Persepsi Pasar
Yanuar menjelaskan, pelemahan yang terjadi belakangan ini diperparah oleh kebijakan BI Rate yang cenderung populis dan tidak dinaikkan secara agresif untuk menahan laju pelemahan rupiah.
Baca Juga: Tragis! Remaja Cantik Tewas Usai Implan Payudara, Sang Ayah Bongkar Fakta Mengejutkan
Sikap Bank Indonesia yang menahan kenaikan suku bunga di saat bank sentral lain mengetat justru memicu pelarian modal (crowding out).
Investor lebih memilih memindahkan asetnya dari deposito rupiah ke instrumen lain yang lebih menarik seperti Surat Berharga Negara (SBN) yang menawarkan kupon tinggi, atau bahkan ke aset aman seperti emas yang harganya terus mencetak rekor baru.
Selain itu, persepsi pasar internasional juga turut memberikan tekanan berat pada rupiah. Menurut Yanuar, lembaga rating dan investasi global seperti MSCI dan JP Morgan telah memposisikan Indonesia dalam portofolio short (tidak diunggulkan).
"Menurut MSCI, menurut apa ee GP Morgan dan sebagainya, Indonesia akan mengalami tekanan fiskal," ujarnya.
Kekhawatiran akan adanya tekanan fiskal akibat beban utang dan belanja pemerintah yang besar membuat investor asing cenderung menghindari aset berdenominasi rupiah, yang pada akhirnya mempercepat pelemahan nilai tukar.***