KONTEKS.CO.ID - Tolak PPN 12 persen, kaum menegaskan akan menggelar aksi penolakan. Mereka akan mogok nasional menolak pemerintah tersebut.
Buruh menyatakan ketegasannya menolak rencana pemerintah mengerek naik tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% di awal tahun 2025.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan serikat buruh lainnya mengancam mengadakan mogok nasional. Aksi ini akan melibatkan 5 juta buruh yang ada di seluruh Indonesia.
KSPI beralasan regulasi itu bisa semakin memperparah kondisi ekonomi masyarakat kecil serta buruh. "KSPI dan serikat buruh lainnya bakal mengadakan mogok nasional bersama 5 juta buruh di seluruh Indonesia," ancam Presiden KSPI, Said Iqbal, dalam pernyataan resminya, mengutip Selasa 20 November 2024.
Gelaran mogok nasional itu akan menyetop kegiatan produksi selama minimal 2 hari. Yakni, pada periode waktu 19 November-24 Desember 2024.
Ancaman ini bakal benar-benar buruh lakukan bila pemerintah tetap menaikkan PPN menjadi 12%. Plus, tak menaikkan upah minimum sesuai tuntutan.
Sebab kenaikkan PPN 12% tentunya berimbang langsung pada harga barang dan jasa yang kian mahal. Ramalan lainnya, regulasinya dapat memangkas daya beli secara signifikan.
Kemudian, kenaikan PPN terprediksi hanya bisa mendorong upah 1-3%. Kisaran yang Presiden Partai Buruh itu anggap nilainya masih tak cukup memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.
Buruh Tolak PPN Naik Jadi 12 Persen, Ini Tuntutannya
Dengan beban PPN yang meningkat, rakyat kecil harus mengalokasikan lebih banyak untuk pajak tanpa adanya peningkatan pendapatan yang memadai.
Menjawab kebijakan yang merugikan itu, KSPI dan Partai Buruh menuntut 4 rekomendasi kepada pemerintah:
- Menaikkan upah minimum 2025 sebesar 8-10% agar daya beli masyarakat meningkat.
- Menetapkan upah minimum sektoral yang sesuai dengan kebutuhan tiap sektor.
- Membatalkan rencana kenaikan PPN menjadi 12%.
- Meningkatkan rasio pajak bukan dengan membebani rakyat kecil. Tapi dengan memperluas jumlah wajib pajak dan meningkatkan penagihan pajak pada korporasi besar dan individu kaya.
Ia menambahkan, lesunya daya beli ini juga mendorong kondisi pasar makin memburuk. "Serta mengancam keberlangsungan bisnis dan meningkatkan potensi PHK di berbagai sektor," pungkas Said Iqbal. ***