• Minggu, 21 Desember 2025

Ekonom Ungkap Praktik Lancung Misinvoicing Rugikan Negara Rp1.000 Triliun di Era Jokowi

Photo Author
- Kamis, 23 Oktober 2025 | 17:33 WIB
Ekonom Gede Sandra mengatakan, terjadi praktik misinvoicing Rp1.000 triliun di era Jokowi. (KONTEKS.CO.ID/tangkapan layar Forum Keadilan Tv)
Ekonom Gede Sandra mengatakan, terjadi praktik misinvoicing Rp1.000 triliun di era Jokowi. (KONTEKS.CO.ID/tangkapan layar Forum Keadilan Tv)
KONTEKS.CO.ID – Ekonom dan Peneliti Lingkar Studi Perjuangan (LSP), Gede Sandra, mengatakan bahwa terjadi praktik misinvoicing selama 10 tahun dengan nilai fantastis Rp1.000 triliun.
 
"Jumlahnya Rp1.000 triliun," kata Sandra dilansir dari siniar Forum Keadilan Tv di Jakarta pada Kamis, 23 Oktober 2025.
 
Gede Sandra menjelaskan, praktik misinvoicing adalah laku lancung mengecilkan atau menggelembungkan (mark up) invoice terkait aktivitas ekspor.
 
 
Dalam praktiknya, ada dua modus, yakni under invoicing. "Artinya, nilainya di bawah dari nilai sebenarnya gitu. Under kan, dimurah-murahin," katanya.
 
Kedua, lanjut Gede Sandra, yakni over invoicing atau kebalikan dari under invoicing. "Dimahal-mahalin," ucapnya. 
 
Ia menyampaikan, praktik ini berdasarkan data dari Next Indonesia yang melakukan penelitian sejak tahun 2013 sampai 2024.
 
 
Hasil penelitian tersebut sangat mencengangkan, yakni selama 10 tahun terjadi praktik misinvoicing dalam aktivitas ekspor Indonesia.
 
"Selama 10 tahun tersebut secara konsisten terjadi misivoicing setiap tahunnya. Yang angkanya  Rp1.000 triliun," ucapnya.
 
Sedangkan jika dikonversi ke dolar Amerika Serikat (AS), angka under invoicing sekitar US$40 miliar. Sedangkan over invoicing-nya sekitar US$25 miliar.
"Kalau dikurs ke rupiah Rp1.000 triliun," tandasnya.
 
 
Gede Sandra menegaskan, setiap tahunnya ada aliran dana gelap sekitar Rp1.000 triliun yang tidak terbaca oleh sistem hukum atau pemerintahan Indonesia.
 
"Seharusnya, Rp1.000 triliun itu bisa masuk ke negara dalam bentuk pajak, bea keluar atau PNBP," ujarnya.
 
Ia menyampaikan, jika dari Rp1.000 triliun tersebut kemudian pemerintah bisa mendapatkan 10-15 persennya, maka akan diperoleh sekitar Rp100 sampai dengan Rp190 triliun per tahun.
 
 
"Tambahan penerimaannya langsung ke negara dalam bentuk pajak, PNBP, bea cukai," katanya.
 
Menurut Gede Sandra, jika pemerintah atau negara dapat mengambil Rp160 triliunnya saja, itu bakal mendongkrak tax ratio.
 
"Yang kemarin kan orang-orang bilang tax ratio kita terendah se-Asia, di bawah 10%. Tax ratio kita itu tidak mencerminkan perekonomian kita karena aktivitas ini," ucapnya.
 
 
Ia menegaskan, praktik misinvoicing ini terjadi selama 10 tahun terakhir, yakni pada era Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Praktik ini konsisten terjadi setiap tahun dalam kurun tersebut.
 
"Padahal kalau tax ratio-nya itu bisa kita ambil dari dana gelap ini, dapat kita Rp160 triliun, kita akan nambah 1 sampai 2 persen. Jadi kita sekarang kan 10 persen ratio kita, kita akan meningkat sampai 11 sampai 12 persen," ujarnya.*** 

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Setiawan Konteks

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Stok Aman, Pemerintah Putuskan Stop Impor Beras 2026

Sabtu, 20 Desember 2025 | 15:45 WIB
X