KONTEKS.CO.ID - Pemerintah kini berada di tahap akhir penyusunan kebijakan pajak untuk aktivitas perdagangan melalui platform e-commerce.
Kebijakan ini menjadi bagian dari strategi untuk meningkatkan penerimaan negara yang belum optimal pada semester pertama 2025.
Pakar perpajakan Rudy Badrudin menyebut bahwa ide pengenaan pajak di sektor e-commerce sebenarnya bukan hal baru.
Menurutnya, upaya ini muncul karena realisasi penerimaan pajak nasional belum mencapai target.
Baca Juga: Sempat Tuai Sorotan, DJP Klarifikasi Pajak e-Commerce: Bukan Pajak Baru!
Ia menjelaskan bahwa saat ini pemerintah sedang memperbaiki sistem administrasi pajak, termasuk menyempurnakan core tax system yang sebelumnya terkendala.
Rudy menegaskan bahwa aturan ini juga ditujukan untuk menciptakan keadilan antara pedagang konvensional dan pelaku usaha daring.
Rudy menambahkan, penerapan sistem pajak otomatis lewat platform digital akan memudahkan pelaku usaha.
Pemungutan pajak dilakukan langsung oleh platform, sehingga pelaku usaha tidak dibebani proses rumit dalam pelaporan.
Baca Juga: Menggali Opsi Pinjaman Online di E-Commerce: Perbandingan Bunga GoPayPinjam dan Shopee Pinjam
Pedagang yang dikenakan pajak adalah mereka dengan omzet tahunan antara Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar.
Meski pelaku UMKM di bawah batas itu tetap kena pajak, tarifnya sangat kecil, hanya 0,5 persen dari nilai transaksi.
Namun, Rudy mengingatkan bahwa pemerintah tetap harus mempertimbangkan kondisi daya beli masyarakat.
Ia menilai tekanan ekonomi global dan kebijakan efisiensi menyebabkan konsumsi publik menurun, termasuk transaksi online.***
Artikel Terkait
Mengenal 5 E-commerce Terbesar di Dunia dan Asal Negaranya
Menggali Opsi Pinjaman Online di E-Commerce: Perbandingan Bunga GoPayPinjam dan Shopee Pinjam
Kabar Terbaru, Pemerintah akan Mewajibkan Platform Toko Online Potong Pajak Penjual
DJP Siapkan Aturan Baru, Marketplace Akan Pungut Pajak dari Penjual, Cek Aturannya di Sini
Sempat Tuai Sorotan, DJP Klarifikasi Pajak e-Commerce: Bukan Pajak Baru!