KONTEKS.CO.ID - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengecam dugaan perampasan tanah oleh TNI yang terjadi di Luwu Utara, Sulawesi Selatan, dan berbagai tempat lainnya.
Koalisi menilai tindakan tersebut menambah panjang daftar konflik agraria yang melibatkan institusi militer.
Dalam keterangan resminya, koalisi menyebut peristiwa ini ironis, mengingat negara tengah menghadapi bencana banjir dan longsor akibat kerusakan lingkungan di Sumatra.
Alih-alih fokus pada keselamatan dan pemulihan korban, negara justru dinilai membiarkan praktik intimidasi dan pengambilalihan paksa lahan kembali terjadi.
Salah satu kasus terbaru muncul pada 4 Desember 2025 di Kecamatan Tana Lili, Luwu Utara, ketika TNI mengklaim lahan untuk pembangunan Batalyon Teritorial Pembangunan (Yon TP).
Warga menolak karena menilai tanah tersebut merupakan lahan garapan turun-temurun yang bukan merupakan aset negara.
Baca Juga: Penyintas Stroke di Aceh Tamiang Dievakuasi Gunakan Helikopter ke KRI Soeharso
Koalisi merujuk data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang mencatat sedikitnya enam konflik agraria terkait fasilitas militer sepanjang 2024.
Total area terdampak mencapai 1.217 hektare dan 307 keluarga menjadi korban.
Konflik yang melibatkan TNI secara langsung tercatat lima kasus dengan luas 1.231 hektare dan 200 keluarga terdampak.
Koalisi menegaskan pengambilalihan tanah, termasuk TNI, wajib melalui prosedur hukum dan putusan pengadilan.
“Eksekusi sepihak adalah bentuk perampasan hak serta pelanggaran HAM,” begitu petikan pernyataan dari koalisi.