KONTEKS.CO.ID – Fakta minus terkait pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) satu per satu dikuliti oleh para peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Setelah mengungkap minimnya cadangan air bersih di IKN, sekarang giliran Pusat Riset Masyarakat dan Budaya (PRMB) BRIN mengungkap sejumlah risiko ketimpangan sosial dan pendidikan yang mengancam kesinambungan pembangunan Ibu Kota Nusantara.
Hasil penelitian resmi mereka mengungkapkan, tanpa strategi integrasi dan afirmatif yang kuat, IKN berpeluang melahirkan kesenjangan masyarakat dan sistem pendidikan "dua tingkat" antara pendatang dan warga lokal (warlok).
Baca Juga: Akui Kondisi Ekonomi Belum Membaik, Menkeu Purbaya Batal Berlakukan Cukai Minuman Berpemanis di 2026
Temuan itu terangkat dalam seminar “Assembling Nusantara 2: The Collaborative and Integrative Paradigm of Indonesia’s New Capital City Toward a Global Modern City” yang digelar di Gedung Widya Graha BRIN, akhir pekan kemarin.
Di sini para peneliti memaparankan hasil riset tantangan pembangunan Ibu Kota Nusantara dari perspektif demografis, sosial, dan pendidikan.
Risiko Munculnya ‘Dua Kalimantan': Modern vs Tertinggal
Sri Sunarti Purwaningsih, Peneliti Pusat Riset Kependudukan BRIN, mengungkapkan, relokasi ibu kota sebagai eksperimen sosio-demografis terbesar Indonesia dalam tujuh dekade.
Baca Juga: Satgas Terpadu Ungkap Berbagai Pelanggaran di Bandara dan Pelabuhan Khusus IMIP dan IWIP
Menurut dia, risiko utama berasal dari pola migrasi yang didominasi tenaga kerja terampil dari luar daerah. Sdangkan kesiapan sumber daya manusia (SDM) lokal di Kalimantan Timur masih minim.
Jika tidak diantisipasi, tegas Sri Sunarti, pola migrasi ini berpotensi menciptakan kesenjangan wilayah dan ketegangan antara pendatang dan masyarakat adat.
Khususnya menyangkut isu lahan, identitas, dan akses terhadap peluang ekonomi. "Tanpa kebijakan integrasi yang kuat, penduduk asli dan pendatang akan berada pada dua orbit berbeda," cetusnya.
Sri Sunarti meramalkan, ada potensi "faksionalisasi etnis" akibat kedatangan kelompok berpendidikan tinggi yang masif mulai 2030, ketika relokasi PNS memasuki gelombang terbesarnya.
Baca Juga: Anak di Bawah Umur Jangan Sembarangan Akses, Menkomdigi Ancam Sanksi Berat Platform Bandel
Ketimpangan ini berisiko memicu ketegangan sosial, terutama terkait isu lahan, identitas, dan akses ekonomi. "Ini berisiko menciptakan Kalimantan dua tingkat. Satu ultramodern, satu tertinggal," tuturnya.