"Indonesia berkomitmen untuk mengelola sumber daya alamnya berdasarkan prinsip SDGs (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan). Tujuan-tujuan ini adalah kompas moral bagi pembangunan," ucapnya.
Selain mengancam ketersediaan lahan nasional, Bappenas juga menyoroti borok internal industri sawit, yakni perlakuan yang tidak adil terhadap para petani kecil.
Di tengah gelimang devisa triliunan rupiah, Rachmat secara terbuka meminta komunitas agribisnis kelapa sawit agar lebih adil terhadap petani kecil, pekerja perkebunan, dan keluarga mereka, yang selama ini justru menjadi tulang punggung pasokan minyak sawit dunia melalui kerja kerasnya.
Oleh karena itu, pemerintah kini mengubah strategi. Alih-alih fokus pada ekspansi lahan baru, Bappenas menegaskan bahwa fokus ke depan adalah pemberdayaan petani yang sudah ada.
"Pemberdayaan petani kecil adalah inti dari strategi nasional kami. Kami harus membantu mereka memodernisasi akses pembiayaan, mengadopsi teknologi, dan meningkatkan hasil panen," jelas Rachmat.
Ini adalah upaya meningkatkan produksi tanpa harus "memakan" sisa lahan untuk perumahan rakyat.
Meski memberi kritik tajam soal ekspansi dan keadilan sosial, pemerintah di sisi lain tetap membela industri sawit di panggung global.
Rachmat menegaskan bahwa Indonesia tidak bisa menutup mata terhadap diskriminasi dan kampanye hitam dari negara lain.
Ia menyebut sawit adalah minyak nabati paling efisien lahan. Untuk menjawab tantangan ganda ini, Bappenas akan fokus pada perbaikan program peremajaan (replanting), penguatan sertifikasi ISPO, dan pelacakan digital (traceability).***