KONTEKS.CO.ID - Doktrin politik luar negeri "bebas aktif" yang telah lama menjadi pilar diplomasi Indonesia ternyata menciptakan sebuah dilema fundamental bagi perancangan strategi pertahanan nasional.
Pakar Pertahanan, Andi Widjajanto, menganalisis bahwa keengganan Indonesia untuk secara tegas menyebut nama musuh membuat perencanaan pertahanan menjadi sulit dan kurang fokus.
Menurut Andi, ada tiga pendekatan utama dalam merancang postur pertahanan sebuah negara, dan Indonesia menghadapi tantangan unik dalam setiap pendekatan tersebut.
Baca Juga: Andi Widjajanto: Mazhab 'Rem' Sri Mulyani Jadi Penghambat Modernisasi Alutsista Prabowo
Pendekatan Berbasis Ancaman (Threat-Based)
Pendekatan ini adalah yang paling ideal, di mana sebuah negara membangun kekuatan militernya untuk secara spesifik melawan ancaman nyata dari negara lain.
Namun, bagi Indonesia, pendekatan ini sulit diterapkan untuk ancaman eksternal.
"Kesulitan Indonesia sampai hari ini, kita tidak pernah bisa mengatakan musuh kita siapa," ujar Andi di video yang diunggah di kanal Youtube Akbar Faizal yang dikutip Selasa, 23 September 2025.
Karena politik bebas aktif, Indonesia tidak bisa melabeli Amerika Serikat, Australia, maupun Tiongkok sebagai musuh.
Pendekatan ini hanya bisa diterapkan untuk ancaman internal seperti separatisme atau terorisme, yang tidak memerlukan alutsista canggih seperti jet tempur.
Baca Juga: Selamat Ginting Sebut Jokowi Alami Konflik Kejiwaan: Tak Sadar Sudah Tidak Berkuasa
Pendekatan Berbasis Kapabilitas (Capability-Based)
Karena pendekatan pertama sulit dilakukan, Indonesia terpaksa memilih pendekatan kedua, yakni membangun kapabilitas pertahanan yang dianggap "normal" dan modern, terlepas dari ada atau tidaknya ancaman.
Inilah yang menjadi dasar dari program Minimum Essential Force (MEF), yang bertujuan agar alutsista Indonesia tidak tertinggal secara teknologi dibandingkan negara lain.
"Apapun ancamannya, ini adalah kapabilitas yang harus dimiliki satu angkatan bersenjata yang normal," jelas Andi.