KONTEKS.CO.ID - Reformasi di tubuh institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mendesak dilakukan.
Bahkan, reformasi Polri harus dilakukan secara menyeluruh demi mewujudkan lembaga penegak hukum yang sipil dan humanis.
Dua kalimat di atas disampaikan peneliti di Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Nicky Fahrizal.
Baca Juga: Polytron Fox 200, Motor Listrik Ringkas dan Stylish untuk Aktivitas Harian
Menurut Nicky, fokus reformasi Polri harus diarahkan pada pembangunan akuntabilitas dan perubahan pola pikir seluruh personel.
Korps Bhayangkara, kata dia, perlu perubahan radikal untuk menyelesaikan masalah kultural seperti kekerasan, korupsi, dan penyelewengan wewenang.
"Reformasi di kepolisian belum dilakukan secara menyeluruh. Padahal, yang dibutuhkan hari ini adalah perubahan-perubahan yang sangat radikal untuk membongkar kultur yang tidak mencerminkan institusi kepolisian yang modern, demokratis, humanis, transparan, dan akuntabel,” kata Nicky mengutip Kompas.id, Senin 15 September 2025.
Bahkan, reformasi Polri semakin mendesak dengan banyaknya kasus-kasus pelanggaran yang melibatkan sejumlah anggota 'baju coklat' beberapa tahun terakhir.
Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang, kasus Ferdy Sambo, hingga kasus penembakan seorang siswa SMK di Semarang pada 2024 lalu setidaknya menjadi sejarah kelam institusi yang kini dipimpin Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Terbaru, kekerasan polisi jadi sorotan hingga 10 orang tewas saat demonstrasi di sejumlah kota di Indonesia akhir Agustus lalu.
Baca Juga: PEPS: Gebrakan Awal Purbaya Rp200 Triliun Sulit Dorong Pertumbuhan Ekonomi
Menurut Nicky, reformasi kultural di tubuh Polri sudah harus dimulai sejak pendidikan dan pelatihan calon anggota.
Sebab, pendidikan dan pelatihan menjadi awal untuk mengubah kultur Polri sekaligus melahirkan aparat penegak hukum yang berintegritas.