KONTEKS.CO.ID – Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya (Ubhara Jaya), Prof Laksanto Utomo, mengatakan, keadilam restoratif (restorative justice/RJ) sesuai dengan kearifan lokal masyarakat di Indonesia.
"Indonesia memiliki tradisi hukum adat dan mekanisme penyelesaian sengketa berbasis kearifan lokal yang sangat dekat dengan prinsip RJ," kata Prof Laksanto dalam seminar nasional bertajuk "Restorative Justice: Konsep, Implementasi, dan Potensi Permasalahan" di Ubhara Jaya, Bekasi pada akhir pekan ini.
Dalam seminar yang dihelat secara hybrid ini, Prof Laks mengungkapkan, masyarakat di berbagai daerah memiliki beberapa cara untuk menyelesaikan persoalan atau konflik.
Baca Juga: Prof Gayus Lumbuun: KUHAP Baru Wajib Atur RJ
Adapun cara yang dilakukan masyarakat dan merupakan kearifan lokal dan miriip dengan RJ, yakni melalui musyawarah mufakat, hukum adat, dan prinsip keadilan komunal.
Musyawarah mufakat merupakan nilai dasar dalam berbagai komunitas adat, menekankan konsensus dan rekonsiliasi.
Sedangkan penyelesaian menggunakan hukum adat, kata Prof Laks, dilakukan dengan cara yang berbeda-beda sesuai hukum adatnya masing-masing.
Baca Juga: PSI Ingatkan Kejati DKI, Penerapan RJ dalam Kasus Mario Dandy Salah Kaprah
Ia mencontohkan, pada saat Tito Karnavian menjabat Kapolda Papua, awalnya menyelesaikan konflik menggunakan pidana.
"Ternyata harus membayar misalnya hampir Rp2 miliar kurang lebih. Kemudian proses pidananya juga harus dilakukan," ujarnya.
Kasus dendam yang berantai karena satu perbuatan dibalas dengan perbuatan yang sama, memakan banyak korban, akhirnya bisa diselesaikan melalui hukum adat, yakni upacara bakar batu.
Baca Juga: Lontarkan RJ Mario Cs, Pakar Hukum: Kajati DKI Kurang Piknik
Kemudian dalam masyarakat Batak, konflik diselesaikan dengan marharoan bolon (gotong royong), Bali dengan perarem atau paruman desa, Papua dengan musyawarah kepala suku, dan Jawa dengan islamic local wisdom seperti islah (perdamaian).
"Sedangkan melalui prinsip keadilan komunal, bisa dipulihkan dengan hubungan sosial," ujarnya.
Ia menyampaikan contoh penerapan prinsip keadilan komunal dalam menyelesaikan perselisihan. Di Aceh ada praktik peusijuek (ritual pembersihan) setelah perdamaian.
Baca Juga: Warganet Desak Mahfud MD Turun Tangan Selidiki Motif Kajati DKI Tawarkan RJ Mario Cs
Kemudian di Dayak, terdapat praktik adat denda penyembuhan (belis atau ganti kerugian simbolis) agar korban dan keluarganya kembali tenang.
"Bugis, Makassar, penyelesaian melalui siri’ na pacce (kehormatan dan solidaritas) dengan mediasi tokoh adat," katanya.
Satu Kampung Kena Saksi
Dekan Fakultas Hukum Ubhara Jaya ini, mengungkapkan, penyelesaian konflik dalam masyarakat adat di sejumlah daerah bukan sekadar menghukum pelaku.
Baca Juga: Usir Politisi-Polisi Korup dan Kartel Narkoba, Warga Kota Cheran Hidup Damai dengan Hukum Adat
Ia lantas menyampaikan disertasi salah satu mahasiswa S3 Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, Jawa Tengah (Jateng).
Mahasiswa tersebut melakukan penelitian di Desa Boti, Kie, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT) tentang penyelesaian kasus pencurian menggunakan hukum adat setempat.
"Pencurian diselesaikan dengan hukum adat, namanya lais palolit yang merupakan sanksi kolektif dari seluruh warga desa," ujarnya.
Berasarkan penelitian, di Boti bukan menghukum pencuri, tetapi menghukum semua masyarakat adatnya harus bertanggung jawab kepada si pencuri.
Baca Juga: Usir Politisi-Polisi Korup dan Kartel Narkoba, Warga Kota Cheran Hidup Damai dengan Hukum Adat
"Jadi seluruh warga harus bertanggung jawab, kok itu ada yang tidak sejahtera [sehingga mencuri]," ujarnya.
Artinya, ujar Prof Laks, semua warga desa atau masyarakat di sana lalai. Masyarakat harus mengganti apa yang dicuri oleh pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya karena menjadi sejahtera.
"Ini salah satu hal yang barang kali bisa dibuat suatu model di dalam masyarakat Indonesia. Ini sangat bisa menjadi contoh," ujarnya.
Menurut Prof Laks, sosiologi hukum dan kearifan lokal akal sangat bagus diintegerasikan dalam konsep RJ.***