KONTEKS.CO.ID - Kementerian Keuangan memastikan bahwa kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 tetap terjaga di tengah gejolak geopolitik Timur Tengah yang berpotensi memicu lonjakan harga minyak dunia dan bahan bakar di dalam negeri.
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu, Deni Surjantoro, mengatakan bahwa APBN 2025 telah dirancang secara antisipatif, termasuk dengan menyediakan anggaran subsidi dan kompensasi untuk mengatasi potensi inflasi dari kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).
“Masih terdapat ruang fiskal untuk menyerap risiko inflasi terhadap domestik melalui kebijakan pemerintah tersebut. Fungsi APBN sebagai shock absorber masih dapat berjalan dengan baik,” ujar Deni dalam keterangannya, Senin, 23 Juni 2025.
Baca Juga: WIFI Siapkan Rp8,4 Triliun untuk Ekspansi Jaringan Internet, Rights Issue dan Obligasi pun Digeber
Menurutnya, harga minyak global saat ini masih berada di bawah asumsi dasar APBN 2025, yakni USD82 per barel. Harga minyak Brent saat ini tercatat di angka USD77,27, sementara harga minyak kelapa sawit mentah (CPO) rata-rata year to date masih di bawah USD73.
Kemenkeu juga menegaskan, pemerintah terus memantau risiko global yang dapat berdampak pada ekonomi domestik. Untuk itu, beragam langkah mitigasi telah disiapkan, termasuk sinergi kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah, serta koordinasi erat dengan otoritas fiskal, moneter, dan sektor keuangan.
“Transformasi struktural terus dilakukan. Keberhasilan menjaga suplai pupuk melalui deregulasi, misalnya, akan dilanjutkan untuk berbagai komoditas lain,” jelas Deni.
Baca Juga: Analisis Bloomberg Sebut Emas Kembali Bersinar, Bitcoin Diprediksi Anjlok ke USD40 Ribu
Lebih lanjut, pemerintah berkomitmen menjaga pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, serta melindungi daya beli masyarakat. Ketahanan sektor strategis seperti energi dan pangan nasional juga menjadi prioritas guna mengurangi ketergantungan terhadap impor dan meningkatkan daya tahan terhadap guncangan eksternal.
Sementara itu, Reyhan Noor, Koordinator Analis Laboratorium Indonesia 45, menilai pemerintah perlu lebih cermat dalam pengelolaan utang negara di tengah ketidakpastian geopolitik.
“Faktor geopolitik menjadi vital karena berdampak pada kapasitas fiskal, baik dari sisi risiko kenaikan harga minyak maupun fluktuasi nilai tukar rupiah,” ujarnya.
Baca Juga: Sekolah Rakyat Dimulai 14 Juli, Peserta Mencapai 20 Ribu
Menurut Reyhan, pemerintah harus dapat memproyeksi kebutuhan pembiayaan dengan akurat, apakah akan menarik utang baru untuk membayar kewajiban lama, atau dapat memanfaatkan surplus keseimbangan primer yang berhasil dijaga melalui optimalisasi penerimaan. ***