KONTEKS.CO.ID – Langkah presiden mengakui terjadinya sejumlah pelanggaran HAM Berat masa lalu atas 13 peristiwa menuai pro kontra. Pernyatan presiden terlontar usai bertemu Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (TPPHAM), Rabu 11 Januari.
Tim penyelesaian pelanggaran HAM berat ini dibentuk Agustus 2022, berdasarkan Keppres No. 17/2022 dan masa kerjanya tidak mencapai 5 bulan. Dalam pertemuan dengan tim, Presiden yang ditemani Menkopolhukam Mahfud MD mengakui terjadi 12 peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Pernyataan Presiden mendapatkan tanggapan dari Forum Diskusi Kebangkitan Indonesia (Forum DKI) yang mengkritik itikad dan prosedur perundangan yang dilanggar presiden saat pembentukan tim ini.
“Kami menyambut baik pernyataan ini. Namun menyayangkan keputusan yang fenomenal ini berangkat dari rekomendasi tim yang inkonstitusional,” ujar koordinator Forum DKI Bandot DM.
Ia mengakui bahwa Jokowi merupakan presiden pertama yang secara terbuka mengakui adanya peristiwa pelanggaran HAM Berat yang terjadi di masa sebelum pemerintahannya.
“Namun, kami sangat menyayangkan kalau kemudian hal ini ditindaklanjuti dengan penyelesaian secara non-yudisial dengan cara menabrak UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM,” ujar aktivis 98 ini.
Bahkan pemberian kompensasi terhadap korban atas rekomendasi dari tim ini oleh presiden dinilainya menabrak UU Pengadilan HAM. “Padahal tertulis jelas bahwa penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat hanya dapat dilakukan melalui jalur yudisial, yakni pengadilan HAM,” tegasnya.
“Satu-satunya jalur non yudisial terbuka hanya untuk pelanggaran HAM Berat masa lalu yang terjadi sebelum UU No 26/2000 diundangkan,” ujar Bandot.
Namun dalam pernyataan presiden ada perangkap, yakni dari 12 peristiwa yang disebutkan oleh presiden, 10 diantaranya terjadi sebelum UU Pengadilan HAM diberlakukan.
“Kami mendesak Presiden untuk menerbitkan Perpu KKR. Dan jika kompensasi dibebankan ke APBN serta tak ada nomenklaturnya, ini berpotensi menjadi bom waktu di kemudian hari. Apalagi jika pemerintahan selanjutnya tidak mendukung penyelesaian pelanggaran HAM berat,” pungkasnya. ***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"