KONTEKS.CO.ID – Pernyataan Presiden Jokowi terkait Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu dinilai tidak memenuhi tuntutan keadilan sesuai amanat UU 26/2000 Tentang Pengadilan HAM.
Sikap presiden dinilai tidak lebih dari aksesori kepemimpinan yang hanya memberikan dampak politik bagi presiden, namun tidak bagi proses rehabilitasi korban pelanggaran HAM berat masa lalu.
Hal tersebut secara tegas diungkapkan Peneliti Hukum dan Konstitusi SETARA Institut Sayyidatul Insiyah. “Ini bagian dari aksesori politik kepemimpinan Jokowi dalam memenuhi janji kampanyenya saat di 2014 hendak mencalonkan diri sebagai presiden.”
Ia menambahkan, pernyataan Presiden hanya sebagai aksesori. “Pengakuan dan penyesalan itu hanya akan memberikan dampak politik bagi presiden tetapi tidak memenuhi tuntutan keadilan sebagaimana digariskan oleh UU 26/2000 Tentang Pengadilan HAM,” ujarnya dalam keterangan resmi, Kamis 12 Januari.
Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu dibentuk Agustus 2022, berdasarkan Keppres No. 17/2022, yang pada intinya mengakui dan menyesali adanya pelanggaran HAM berat pada 12 peristiwa di masa lalu.
“Tim ini hanya bekerja tidak lebih dari 5 bulan, dengan komposisi anggota yang kontroversial dan metode kerja yang tidak jelas, mustahil bisa merekomendasikan terobosan penyelesaian pelanggaran HAM secara berkeadilan.”
Menurutnya tim ini hanya ditujukan untuk memberikan legitimasi tindakan bagi Presiden Jokowi membagikan kompensasi kepada para korban tanpa proses rehabilitasi yang terbuka dan tanpa mengetahui siapa sesungguhnya pelaku-pelaku kejahatan itu.
SETARA Institut menyesalkan ketiadaan pengungkapan kebenaran secara spesifik perihal siapa-siapa aktor di balik 12 kasus yang telah dianalisis oleh Tim PPHAM.
Padahal, pengungkapan kebenaran menjadi unsur yang sangat esensial dalam penuntasan pelanggaran HAM, sekalipun melalui mekanisme non-yudisial. “Ada lompatan logika (logical jumping) yang dipraktikkan oleh pemerintah, yaitu mengabaikan upaya pengungkapan kebenaran namun telah mengambil jalur non-yudisial sebagai mekanisme penyelesaian yang justru semakin berpotensi pada pengukuhan impunitas,” paparnya.
Ia menambahkan, “inilah kecerdikan presiden merespons isu politik penyelesaian pelanggaran HAM. Di satu sisi, berhasil memetik insentif politik sebagai pemecah kebekuan; tapi di sisi lain, juga dicatat sebagai presiden yang berhasil menutup ruang bagi kerja lanjutan advokasi penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, melalui jalur yudisial”. ***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"