KONTEKS.CO.ID – Bandi mengenang tragedi kemanusiaan di stadion Kanjuruhan. Kejadian tersebut masih terekam kuat dalam ingatannya.
“Hal pertama yang saya lakukan adalah memegang kakinya dan itu seperti batu, keras dan dingin,” kata Bandi kepada The Athletic. “Saya pegang tangannya, tidak ada denyut nadinya. Saya menyentuh dadanya, tidak ada nafas, tapi dia masih hangat. Saya mengangkat selimut dari wajahnya dan wajah tersebut membiru dan meneteskan air liur. Saya saya tutup kembali selimut tersebut.”
Itu adalah jenazah pertama yang dirawat Bandi pada 1 Oktober. Dan itu bukan yang terakhir. Bandi bukan dari layanan darurat, ia hanya suporter Arema dan enggan gunakan nama asli karena takut diidentifikasi oleh pihak kepolisian.
“Ketika saya tiba, ada mayat di mana-mana,” katanya, menggambarkan pemandangan yang menghantui. “Orang-orang menghembuskan nafas terakhir mereka. Di sekeliling ruangan, yang bisa saya dengar hanyalah ucapa duka ‘Inna Lillahi wa inna Ilaihi Rajiun’.”
“Setiap orang yang saya jumpai mengatakan sedang mencari yang lainnya. Dan seterusnya, dan begitu seterusnya. Ternyata banyak yang pergi menonton bersama sama. Hal ini amat menghancurkan hati. Bahkan sekarang ketika saya menutup mata, saya melihat bayangan orang-orang sekarat di sekitar saya dan kekacauan yang terjadi.”
Bandi sebelumnya berhasil mengungsikan seorang anak ke tempat aman melalui gerbang sembilan. Dan di gerbang 10, dirinya menyaksikan pemandangan brutal yang amat jelas dari para korban yang tidak berhasil selamat.
“Ketika pintu dibuka, ada sekitar lima orang yang bertumpuk, seorang gadis mengulurkan tangannya kepada teman saya. Dia masih hidup,” jelasnya. “Di bawah, salah satu pria itu tewas, lehernya patah dan ada darah di mana-mana.”
“Wanita itu terus berkata, ‘Tolong bantu saya, tolong bantu saya’, dan kami menyeretnya ke kamar tempat saya berada, tetapi sayangnya ketika kami sampai di sana, wanita tersebut tidak berhasil selamat.”
Bandi kini mengalami trauma berat yang mungkin sebanding dengan trauma di medan perang.
“Beberapa mayat yang saya lihat di dalam diangkut ke rumah sakit tidak menggunakan ambulans, tetapi truk polisi,” dia menunjukkan tangannya tinggi tinggi untuk menggambarkan banyaknya korban yang menumpuk. “Mereka ditumpuk tumpuk. Anda tahu satu hal yang saya tidak yakin? Saya khawatir orang-orang yang belum mati dan mereka terus dimasukkan ke dalam truk.”
Korban tewas resmi dari bencana Stadion Kanjuruhan mencapai 131, tetapi seperti yang dikatakan oleh seorang profesional medis kepada The Athletic, “ini adalah bencana terbuka”. Teorinya kita tidak akan pernah tahu jumlah pasti korban. Karena beberapa penonton tiba di pertandingan dengan mobil, lalu meninggal karena terinjak-injak. Setelah itu dievakuasi ke tepi rumput di luar stadion dan kemudian dibawa pulang untuk dikuburkan di pemakaman sekitar. Dengan demikian, kematian mereka tidak akan ada dalam catatan resmi.” *** (bersambung)
Baca juga:
Anak-anak yang Nonton Pertandingan Bola dan Tidak Pernah Pulang Lagi (1)
Pergi ke Kanjuruhan Kondisi Sehat, Pulang Tanpa Kehidupan (2)
Adegan Pembantaian Keluarga di Stadion Kanjuruhan (3)
Mereka Korban Kanjuruhan yang Tak Masuk Catatan Resmi (4)
Malam Damai di Kanjuruhan Jadi Malam Berdarah (5)
Teror Gas Air Mata di Kanjuruhan (6)
Bukan Gas Air Mata, tapi Pintu Tertutup yang akan Jadi Kambing Hitam (7)
Artikel ini dialih bahasa dari The Athletic dan diselaraskan oleh tim konteks.co.id.
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"