Apa Itu Lavender Marriage yang Dikaitkan dengan Gugatan Cerai Sherina Munaf dan Baskara Mahendra

Warna lavender, yang sudah lama diasosiasikan dengan komunitas LGBTQ+, menjadi simbol dari pernikahan semacam ini.

Baca Juga: Alasan Kopi Tuku Resmi Beli Hak Penamaan Stasiun MRT Cipete Raya

Alasan di Balik Lavender Marriage

Beberapa alasan utama mengapa individu memilih lavender marriage meliputi:

1. Penerimaan Sosial

Dalam masyarakat yang konservatif, individu sering kali merasa tertekan untuk memenuhi harapan keluarga atau komunitas yang mengutamakan hubungan heteroseksual.

2. Karier dan Reputasi

Terutama bagi figur publik, pernikahan heteroseksual dapat membantu melindungi citra dan karier mereka dari stigma sosial.

Baca Juga: Kalah Tiga Gim dari Wakil Thailand di India Open 2025, Ini Kata Fajar dan Rian

3. Keamanan Pribadi

Di negara atau wilayah yang belum sepenuhnya menerima orientasi seksual nonheteroseksual, pernikahan semacam ini bisa menjadi perlindungan dari diskriminasi atau bahkan ancaman hukum.

4. Keuntungan Hukum dan Finansial

Pernikahan memberikan akses ke hak-hak tertentu, seperti warisan, perlindungan hukum, dan stabilitas finansial.

Meskipun lavender marriage mungkin menawarkan keuntungan sosial dan hukum, pernikahan ini sering kali membawa dampak emosional yang berat.

Banyak pasangan mengalami isolasi, tekanan psikologis, dan kesulitan dalam mengekspresikan identitas asli mereka.

Baca Juga: Ramai Virus HMPV, Peneliti Indonesia Bilang Jangan Takut: Ini Perbedaannya dengan COVID-19 dan Influenza

Spekulasi Lavender Marriage dalam Kasus Sherina dan Baskara

Dalam konteks perceraian Sherina dan Baskara, tuduhan lavender marriage masih sebatas spekulasi tanpa bukti konkret.

Hubungan mereka, yang awalnya terlihat harmonis, kini menjadi sorotan karena berbagai rumor yang muncul.

Apapun kebenarannya, kasus ini mencerminkan kompleksitas hubungan dalam masyarakat modern.

Selain itu, perbincangan mengenai lavender marriage dapat menjadi momen refleksi tentang tekanan sosial dan budaya yang masih dihadapi individu di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.***