KONTEKS.CO.ID - Saat ini, kondisi harga nikel memang tengah tertekan. Sepanjang tahun lalu, harga nikel jatuh sekitar 7 persen ke level USD14.376 per ton.
Angka ini berbanding terbalik dengan lonjakan drastis pada Maret 2022 yang sempat menyentuh USD48.078 per ton pascainvasi Rusia ke Ukraina.
Setelah sempat naik kembali ke USD21.615 pada Mei 2024, harga justru merosot sekitar 34 persen hingga ke level sekarang.
Di sisi lain, tantangan kelebihan pasokan masih membayangi.
Analis BMO Capital Markets, Helen Amos, memproyeksikan akan ada surplus nikel sebesar 240 ribu ton tahun depan.
Itu dengan catatan pemangkasan produksi Indonesia benar-benar dipatuhi perusahaan tambang.
Baca Juga: Pesawat KLM Mendarat Darurat Setelah Penumpang Melihat Tikus Raksasa Berkeliaran di Kabin
Amos juga mengutip penilaian dari Nornickel, produsen nikel raksasa asal Rusia.
Perusahaan tersebut meramalkan pasar akan menghadapi surplus yang jauh lebih besar, mencapai 275 ribu ton pada tahun depan.
Perlu dicatat penilaian Nornickel ini dirilis tepat sebelum adanya pengumuman rencana pemangkasan dari pihak APNI.
Baca Juga: Ngaku Kena Tipu Insanul Fahmi, Foto Mesra Inara Rusli Kembali Viral, Sindiran Marissya Icha Disorot
Berdasarkan data United States Geological Survey (USGS), dominasi Indonesia memang tak terbantahkan dengan produksi 2,2 juta ton pada 2024, disusul Filipina (330 ribu ton) dan Rusia (210 ribu ton).
Namun, mayoritas produksi di Asia Tenggara adalah nikel laterit yang meskipun biaya awalnya murah, tetapi sangat padat energi dan berdampak buruk bagi lingkungan.