KONTEKS.CO.ID – Peneliti CSED INDEF, Abdul Hakam Naja, menekankan konteks besar reindustrialisasi Indonesia. Kontribusi manufaktur anjlok lebih dari 30 persen PDB pada awal 2000-an menjadi sekitar 19 persen pada 2025.
Abdul Hakam dikutip pada Senin, 1 Desember 2025, menyampaikan, Danantara tidak boleh diposisikan hanya sebagai superholding finansial, tetapi sebagai “dirigen reindustrialisasi nasional”.
Posisi tersebut menjadikan Danantara mampu mengorkestrasi hilirisasi, pemanfaatan sumber daya mineral kritis, penguatan riset dan inovasi, serta transisi energi hijau.
“Kalau Danantara hanya mencari imbal hasil cepat, kita akan mengulang kesalahan masa lalu,” ujarnya.
Menurutnya, Danantara harus menjadi institusi yang membangun struktur ekonomi, bukan sekadar mengejar dividen.
Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa industrialisasi Indonesia harus selaras dengan prinsip keberlanjutan.
“Kita tidak bisa bicara industri tanpa bicara lingkungan. Industri halal, industri hijau, dan mineral strategis harus menjadi satu ekosistem, bukan tiga agenda yang terpisah,” katanya.
Abdul Hakam menyampaikan pernyataan tersebut dalam diskusi publik bertajuk “Menakar Potensi Danantara sebagai Katalis Pertumbuhan Ekonomi Syariah Indonesia” gelaran Center for Sharia Economic Development (CSED) INDEF secara daring pada akhir pekan kemarin.
Diskusi tersebut untuk memberikan pandangan mendalam mengenai peluang, tantangan, dan risiko dari pembentukan Danantara, superholding investasi negara yang dibentuk Presiden Prabowo pada awal 2025.
Para narasumber sepakat bahwa Danantara berpotensi menjadi mesin baru pertumbuhan ekonomi syariah dan reindustrialisasi. Namun, dampak positif tersebut sangat bergantung pada arah kebijakan dan kekuatan tata kelola institusi.***