KONTEKS.CO.ID - Wacana redenominasi rupiah kembali menjadi sorotan publik setelah Menteri Keuangan (Menkeu), Purbaya Yudhi Sadewa menyinggung rencana penyederhanaan nominal mata uang itu.
Namun, ekonom Anthony Budiawan menilai langkah tersebut tidak memiliki urgensi ekonomi saat ini dan berpotensi menambah beban masyarakat.
Anthony mengingatkan bahwa pembahasan redenominasi bukan hal baru. Gagasan serupa telah sempat bergulir pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2010, namun tidak pernah berlanjut ke tahap implementasi.
Baca Juga: Redenominasi Rupiah: Tak Mendesak, Ekonom Soroti Risiko Harga Naik dan Daya Beli Masyarakat
Menurutnya, kondisi ekonomi sekarang pun belum memberikan alasan kuat untuk melakukannya.
“Di 2010 itu tidak ada urgensi untuk redenominasi, nah sekarang apakah ada? Tidak ada juga karena di 2010 itu kita punya kurs rupiah itu sekitar Rp10.000 dan sekarang Rp16.000, nggak jauh berbeda,” ujar Anthony dalam podcast di kanal YouTube Bambang Widjojanto, Senin, 24 November 2025.
Tidak Relevan Tanpa Hiperinflasi
Anthony menjelaskan bahwa redenominasi secara teknis biasanya dilakukan negara-negara yang mengalami inflasi ekstrem dalam waktu singkat.
“Kapan sebuah mata uang perlu redenominasi? Itu kalau dia punya tingkat inflasi dalam waktu cepat, setahun atau 2 tahun itu ratusan bahkan ribuan persen,” tegasnya.
“Itu perlu satu pemutusan mata rantai inflasi itu sendiri," katanya lagi.
Fundamental Lemah, Rupiah Rawan Guncang
Anthony mengingatkan persoalan utama justru terletak pada lemahnya fundamental ekonomi Indonesia. Defisit transaksi berjalan yang terus terjadi sejak 2012 disebut menjadi pemicu tekanan terhadap rupiah.
“Terutama kita transaksi berjalan itu tersedot keluar, itu defisit. Kalau transaksi kita berjalan defisit dan sekarang pun sejak 2012 kita defisit, kalau tidak ada perbaikan dalam fundamental ekonomi, akan terperosok lagi,” katanya.
Baca Juga: Gubernur BI Sebut Redenominasi Rupiah Butuh Waktu 6 Tahun, Ini Tahapannya
Ancaman Kenaikan Harga yang Tak Terlihat di Statistik
Risiko lain yang dikhawatirkan adalah tekanan harga yang tidak terekam dalam indeks resmi.