KONTEKS.CO.ID - Hubungan dagang antara Nigeria dan Indonesia mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah, dengan nilai perdagangan bilateral mencapai 4,7 miliar dolar AS atau sekitar Rp76,1 triliun.
Angka ini lebih dari dua kali lipat dibandingkan nilai perdagangan pada 2019 yang tercatat sebesar USD1,9 miliar.
Pencapaian tersebut menjadi sinyal positif bagi prospek investasi kedua negara di masa mendatang.
Presiden Kamar Dagang dan Industri Nigeria-Indonesia (NICCI), Ishmael Balogun, menyebut lonjakan perdagangan ini tak lepas dari upaya mempromosikan kredibilitas dan potensi bisnis Nigeria di mata internasional.
Baca Juga: Demi AS, Indonesia Mungkin Kurangi Impor Minyak dan Gas dari Nigeria
Berbicara dalam acara 'Nigeria Mid-Year Economic Outlook' yang diselenggarakan NICCI dengan tema "Membangun Ketangguhan di Tengah Ekonomi yang Bergejolak", Balogun mengakui Nigeria masih menghadapi tantangan berupa ketidakpastian nilai tukar, tekanan inflasi, serta pergeseran ekonomi global.
Namun demikian, menurutnya, negara tersebut tetap menjadi lahan investasi yang subur, sebagaimana tercermin dari hubungan ekonomi yang semakin erat dengan Indonesia.
Ia menjelaskan forum tersebut dirancang sesuai dengan tantangan saat ini, baik di sektor publik maupun swasta, guna menyusun strategi adaptif.
“Itulah sebabnya kami menghadirkan para pemikir terkemuka di bidang bisnis dan kebijakan untuk berbagi wawasan berharga, agar kita semua bisa menavigasi dan memposisikan bisnis kita secara strategis," kata Balogun.
Baca Juga: Nigeria Akan Bebaskan 313 Tersangka Pemberontak, Ternyata Ini Alasannya
"Tujuan kami bukan sekadar memfasilitasi perdagangan, tetapi juga membangun ketangguhan."
"Hari ini bukan soal angka ekonomi, melainkan tentang pengambilan keputusan dan membangun jaringan pelaku usaha serta investor yang siap memimpin saat arus berubah,” ungkap Balogun.
Dalam sesi lain, Konsultan Utama B. Adedipe Associates Limited, Biodun Adedipe, menegaskan bahwa sudah saatnya Nigeria menyoroti akar permasalahan ekonomi, bukan hanya gejala dan akibatnya.
Menurutnya, tantangan utama negara-negara berkembang, termasuk Nigeria, adalah kurangnya produksi di sektor-sektor vital seperti pangan, manufaktur, infrastruktur, energi, dan perumahan.