KONTEKS.CO.ID – Dalam konteks ketegangan di Timur Tengah yang berpotensi mengakibatkan pelemahan ekonomi serta depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, pemerintah Indonesia dihadapkan pada tantangan serius terkait pengelolaan anggaran negara.
Baru-baru ini di tengah melemahnya nilai tukar rupiah, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan rencana kenaikan impor Bahan Bakar Minyak (BBM) hingga mencapai 850.000 barel per hari. Ini sebagai respons terhadap penurunan produksi migas nasional.
Salah satu kebijakan yang kini menjadi beban bagi pemerintah di tengah nilai tukar rupiah yang melemah adalah Program Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT). Program ini menawarkan gas murah untuk sektor industri.
Seorang ekonom juga Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira menggarisbawahi pentingnya untuk mengevaluasi kembali kebijakan insentif ini.
Menurutnya, dalam situasi kenaikan harga gas yang dapat terpicu oleh faktor geopolitik dan pelemahan nilai tukar rupiah, beban dari program HGBT akan semakin meningkat.
Ini meningkatkan risiko terhadap sektor migas, dan potensi kehilangan pendapatan negara.
“Sebaiknya kebijakan insentif harga gas khusus (HGBT) perlu evaluasi ulang. Pertama, mempertimbangkan risiko geopolitik yang bisa mendorong harga gas lebih tinggi dan pelemahan kurs Rupiah,” ungkap Bhima Yudhistira, Minggu 20 April 2024.
Selain itu, Bhima juga menyoroti manfaat dari program HGBT belum banyak dirasakan, terutama dalam hal mendorong proses industrialisasi.
Menurutnya, dampak terhadap penyerapan tenaga kerja juga masih minim. Oleh karena itu, Bhima berpendapat program HGBT tidak memberikan efek yang signifikan secara keseluruhan.
Dia menyarankan untuk menciptakan sistem yang lebih efisien dalam memastikan pasokan gas domestik yang cukup.
Caranya dengan mengurangi rantai pasok dan meningkatkan infrastruktur.
“Artinya, untuk mencapai harga gas domestik murah untuk industri bukan dengan cara insentif seperti sekarang,” tutur Bhima.
Sementara itu, subsidi energi saat ini sebaiknya prioritas untuk yang memiliki dampak langsung kepada masyarakat, seperti BBM, listrik, dan LPG 3kg.
Bhima memperingatkan, nilai tukar rupiah yang terus melemah, terpadu dengan meningkatnya ketegangan geopolitik, akan meningkatkan harga komoditas energi seperti minyak.
Menteri ESDM Arifin Tasrif juga mengumumkan potensi defisit tinggi akibat impor minyak yang masih cukup tinggi.
Dengan produksi nasional yang hanya mencapai 600.000 barel per hari dan impor sebesar 840.000 barel per hari, terutama dari negara-negara seperti Arab Saudi dan Nigeria, Indonesia masih bergantung pada impor minyak untuk memenuhi kebutuhan energinya.
“Karena mungkin (dari beberapa negara) itu yang paling kompetitif dalam menawarkan harga BBM-nya,” ujar Arifin Tasrif.
Kondisi ini menunjukkan pemerintah perlu mengambil langkah-langkah strategis dalam mengelola kebijakan energi dan subsidi untuk menghadapi tantangan ekonomi yang kompleks.
Evaluasi terhadap program HGBT dan penyesuaian kebijakan subsidi energi dapat menjadi langkah awal yang penting dalam menjaga stabilitas ekonomi negara dan memastikan kesejahteraan masyarakat.***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"