Wilayah dataran tinggi yang kini menjadi tempat tinggal orang utan Tapanuli sebenarnya bukan habitat alami yang ideal.
Baca Juga: Emas, Pecah Rekor Dunia, dan Mimpi Olimpiade: Kisah Sempurna Rizki Juniansyah di SEA Games 2025
Itu melainkan area tersisa setelah pembangunan di kawasan lain terus menekan ruang hidup mereka.
Pada awal bulan ini, Pemerintah Indonesia mengakui perkebunan industri, proyek PLTA, serta pertambangan emas di wilayah tersebut telah “berkontribusi signifikan terhadap tekanan lingkungan”.
Pemerintah pun mengumumkan penghentian sementara seluruh izin operasional proyek di kawasan Batang Toru sambil menunggu proses evaluasi menyeluruh.
Baca Juga: Pemerintah Cabut 22 Izin Pemanfaatan Hutan Seluas 1 Juta Hektare
Pemerintah dan kelompok lingkungan sama-sama menilai deforestasi berperan memperparah dampak banjir yang terjadi.
Sementara, sebuah studi yang dipublikasikan pada Kamis pekan lalu menyebut hujan ekstrem akibat perubahan iklim, ditambah suhu laut yang lebih hangat, turut memperkuat intensitas badai.
Para pakar orang utan mendesak agar seluruh aktivitas pembangunan yang berpotensi merusak sisa habitat orang utan Tapanuli segera dihentikan, serta meminta survei lapangan dilakukan secepat mungkin.
Baca Juga: Menaker Sebut UMP 2026 Diteken Presiden Hari Ini: Bahagiakan Pekerja!
Mereka juga mendorong perluasan kawasan lindung dan pemulihan hutan dataran rendah sebagai langkah penyelamatan jangka panjang.
Panut Hadisiswoyo, pendiri sekaligus Ketua Orangutan Information Centre (OIC), menyebut kawasan tersebut kini terasa sunyi setelah rangkaian longsor melanda.
“Habitat yang rapuh dan sensitif di West Block ini harus dilindungi sepenuhnya dengan menghentikan seluruh pembangunan yang merusak habitat,” ujarnya.***