nasional

Tegas! Komunitas Pers Tolak Draf RUU Penyiaran, Pertanyakan UU Pers No 40 Tahun 1999

Rabu, 15 Mei 2024 | 07:36 WIB
Ilustrasi profesi pers yang menghasilkan karya jurnalistik. (Foto: pngtree)

KONTEKS.CO.ID - Dewan Pers bersama dengan seluruh komunitas pers tegas menolak isi draf Rancangan Undang-undang (RUU) Penyiaran.

Adapun RUU tersebut merupakan inisiatif DPR untuk mengganti UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

“Kami menolak RUU Penyiaran. Kami menghormati rencana revisi UU Penyiaran tetapi mempertanyakan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 justru tidak dimasukkan dalam konsideran RUU Penyiaran,” ungkap Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, dalam jumpa pers di Kantor Dewan Pers, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Selasa 14 Mei 2024.

Menurut Ninik, bila RUU itu nanti terberlakukan, maka tidak akan ada independensi pers. Pers pun menjadi tidak profesional.

Karena itu, dia mengritik penyusunan RUU yang sejak awal tidak melibatkan Dewan Pers dalam proses pembuatannya.

Ninik menambahkan, dalam ketentuan proses penyusunan UU harus ada partisipasi penuh makna (meaningfull participation) dari seluruh pemangku kepentingan. Hal ini tidak terjadi dalam penyusunan draf RUU Penyiaran.

Sebab, larangan penayangan jurnalisme investigasi di draf RUU Penyiaran bertentangan dengan pasal 4 ayat (2) UU Pers yang menyatakan, bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan, atau pelarangan penyiaran.

Terlebih larangan itu akan berdampak dalam membungkam kemerdekaan pers. Padahal jelas tertera dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a, bahwa fungsi Dewan Pers adalah melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain.

Kemudian, hal lain yang disoroti Ninik ialah penyelesaian sengketa pers di platform penyiaran. "Sesuai UU Pers, itu menjadi kewenangan Dewan Pers. KPI tidak punya wewenang menyelesaikan sengketa pers,” ungkapnya.

Senada akan hal itu, Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Wahyu Dyatmika menegaskan, para legislator akan berhadapan langsung langsung dengan insan pers. Apabila RUU tersebut tersahkan dan berlaku.

“Jika tetap ngotot untuk memberlakukan RUU itu, maka Senayan akan berhadapan dengan masyarakat pers,” tegas Wahyu.

Penolakan RUU Penyiaran


Sedangkan anggota Dewan Pers, Yadi Hendriana, mengutarakan, upaya menggembosi kemerdekaan pers sudah lima kali pemerintah maupun legislatif lakukan.

Hal itu antara lain tecermin melalui isi UU Pemilu, peraturan Komisi Pemilihan Umum, pasal dalam UU Cipta Kerja, KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), dan terakhir RUU Penyiaran.

Ia pun menilai, RUU Penyiaran ini jelas-jelas secara frontal mengekang kemerdekaan pers.

Suara penolakan juga datang dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang tersampaikan oleh Kamsul Hasan.

Menurut dia, RUU Penyiaran itu jelas-jelas bertentangan dengan UU Pers. PWI meminta agar draf RUU yang bertolak belakang dengan UU Pers tertolak.

Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Herik Kurniawan, mendesak agar draf RUU itu tercabut. Alasannya, RUU akan merugikan publik secara luas dan kembali tersusun sejak awal dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI), melalui ketua umumnya, Nani Afrida, berpendapat, jurnalisme investigatif merupakan strata tertinggi dari karya jurnalistik. Sehingga jika terlarang, maka akan menghilangkan kualitas jurnalistik.

Penolakan juga disampaikan oleh Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), dan semua konstituen Dewan Pers.***

Tags

Terkini