Perang Rusia-Ukraina, secara faktual dan historikal, jelas tidak dapat dipisahkan dengan peran kelompok negara barat di bawah kepemimpinan Amerika Serikat, dimana Ukraina cenderung hanya dijadikan sebagai proxy saja.
Dilihat secara komprehensif, konflik tersebut sudah diawali sesaat setelah terjadinya proses persatuan Jerman Barat dan Timur, dimana persyaratan yang mendasarinya [”don’t move 1 inch eastward”] dilanggar oleh pihak barat dengan terus menjadikan 14 negara dari ex Blok Timur [Warsawa Pact] dan bahkan ex Uni Soviet [mis. Georgia dll] menjadi bagian dari NATO.
Selain itu juga terjadi konflik Balkan ex Yugoslavia sejak 1991-2001 yang dikendalikan oleh AS/NATO. Kudeta Maiden [alun-alun Kiev] pada Februari 2014 yang dibidani dan didukung oleh Amerika bersama Inggris dalam menjatuhkan presiden Ukraina waktu itu Viktor Yanukovych yang pro Rusia, lalu digantikan dengan boneka barat Petro Poroshenko yang mengondisikan agar Ukraina menjadi bagian dari EU dan NATO ke 31 yang sudah disepakati di Parlamen Ukraina. Hal itu telah menyebabkan lepasnya Crimea dari Ukraina dan kembali ke Rusia melalui referendum. Di Crimea terdapat pangkalan armada AL Laut Hitam Rusia berada di Sevastopol.
Sebagai akibat dari kudeta Maiden dan terjadinya pembantaian oleh resimen pasukan paramiliter terhadap penduduk beretnik Rusia di wilayah Donbas [Ukraina bagian timur dan selatan] seperti Luhansk dan Donetsk sebanyak 13 – 16 ribu orang. Oleh karena itu pada April 2014 penduduk beretnis Rusia memerdekakan diri menjadi DNR dan LNR.
Sejak itu penyerangan terhadap etnik Rusia semakin gencar dan pada 05 Mei 2014 didirikan oleh Andriy Biletsky resimen AZOV A30B ultra-nasionalis supremasi kulit putih berideologi neo-NAZI yang dikendalikan barat [misal US Senator (R): John McCain - Arizona, Lindsay Graham – South Carolina].
Menjadikan Ukraina yang mempunyai garis perbatasan dengan Rusia sepanjang 1945 Km sebagai Negara NATO adalah provokasi Barat yang tidak mungkin dapat diterima oleh pemimpin Rusia manapun [Putin / bukan], karena itu sangat mengancam kelangsungan eksistensi Rusia secara geostrategis.
Jadi konflik Ukraina-Rusia bukan invasi Rusia terhadap Ukraina ansich yang berdiri sendiri dan terjadi sejak 24 Februari 2022, melainkan sebuah akibat dari berbagai rangkaian permasalahan panjang berupa penghianatan kesepakatan [4+2], pelecehan dan provokasi terhadap Rusia, yang berawal sejak lebih dari 30 tahun lalu.
Pandangan itu juga disampaikan oleh para mantan petinggi negara barat [konseptor perang dingin AS, 2 PM Australia, 2 direktur CIA, para duta besar, beberapa jenderal dan perwira AS, top Think Tank, Professor dan pakar geopolitik]