Ia menyebut Indonesia memiliki modal besar untuk memimpin dialog peradaban serta meneguhkan narasi Islam yang ramah, inklusif, dan mengedepankan akal sehat.
Agama dan Nasionalisme Bukan Dua Kutub Berseberangan
Wakil Presiden ke-13, KH Ma’ruf Amin memberikan perspektif yang mempertegas dimensi etis ajaran Islam.
Sebagai Ketua Dewan Pertimbangan MUI, ia menekankan bahwa manusia diciptakan sebagai khalifah yang bertanggung jawab menjaga keadilan dan perdamaian.
“Bangsa tidak akan berdiri tegak tanpa kejujuran, amanah, dan pengabdian. Siapa pun yang setia pada perjanjiannya dengan Tuhan, ia akan setia pada perjanjiannya dengan bangsanya,” katanya.
Kiai Ma’ruf menolak dikotomi antara nasionalisme dan agama, yang menurutnya kerap dimanfaatkan kelompok-kelompok tertentu untuk memecah umat. Ia menegaskan bahwa nilai keislaman justru memperkuat prinsip bernegara.
Seruan Merawat Persaudaraan
Dalam sesi penutup, Syekh Al-Issa dan Kiai Ma’ruf sama-sama menyoroti urgensi memperkuat solidaritas, baik antarsesama Muslim maupun antarumat manusia.
Al-Issa mengingatkan bahwa Rasulullah menjunjung tinggi nilai universal kemanusiaan, termasuk melalui pengakuan beliau terhadap perjanjian pra-Islam seperti Hilful Fudul.
Sementara itu, Kiai Ma’ruf menegaskan bahwa persaudaraan nasional bukanlah konsep sekuler, melainkan lanjutan logis dari persaudaraan iman dan kemanusiaan.
Keduanya sependapat bahwa dunia tidak hanya membutuhkan narasi moderat, tetapi tindakan nyata untuk merawat harmoni di tengah meningkatnya polarisasi global.***