KONTEKS.CO.ID - Gelombang demonstrasi yang mengguncang Jakarta dan kota besar lainnya pada akhir Agustus 2025 memunculkan banyak tafsir.
Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Jenderal (Purn.) A.M. Hendropriyono, memberi peringatan keras terkait adanya pihak-pihak yang mencoba menunggangi situasi.
“Jangan sampai ada yang mengail di air keruh. Kalau sampai terjadi revolusi, yang paling banyak jadi korban adalah anak-anak,” ujar Hendro dalam wawancara di kanal YouTube Prof. Rhenald Kasali yang dilansir Senin, 1 September 2025.
Baca Juga: Kini, Patroli Gabungan TNI Polri Masuk Gang hingga RT: Anarkis dan Perusuh Siap-Siap Ditindak!
Fenomena Politik yang Dicurigai
Hendro juga menyoroti adanya fenomena ganjil di lapangan, termasuk politisi yang melayat korban kerusuhan tanpa alasan jelas. Menurutnya, hal itu bisa menjadi tanda ada kelompok tertentu yang mencoba memanfaatkan momentum.
Namun, pandangan Hendro dinilai sebagian kalangan terlalu konspiratif. Pengamat sosial menilai pergerakan massa kali ini justru lebih cair, tanpa struktur, dan sulit dipetakan.
Pergerakan Massa yang Rizomatik
Beberapa pengamat menggambarkan aksi ini mirip jaringan rizomatik: tanpa pusat, tanpa komando tunggal, dan tanpa “dalang” yang bisa dilacak. Kondisi ini membuat strategi aparat, seperti memburu koordinator, tidak lagi efektif.
Justru, setiap bentuk represi berpotensi memicu kemarahan baru yang menjalar lebih luas. “Setiap kali aparat menekan, api makin membesar,” ujar seorang pengamat sosial.
Kritik Publik yang Makin Meluas
Selain itu, kritik terhadap pemerintah makin meluas. Isu mahalnya biaya hidup, kebijakan kontroversial, hingga ketidakpuasan terhadap elit politik menjadi pemicu.
Ledakan kemarahan publik juga terlihat dari aksi penjarahan rumah pejabat dan politisi, seperti Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, hingga Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Situasi ini menunjukkan bahwa gelombang protes bukan sekadar gerakan terorganisasi, melainkan akumulasi kemarahan rakyat yang sulit dikendalikan.***