KONTEKS.CO.ID - Tragedi tewasnya driver ojol Affan Kurniawan dilindas rantis Brimob Polda Metro Jaya, bermula dari protes tunjangan anggota DPR hingga cermin kegagalan manajemen Polri atasi kerumunan.
"Saya melihat peristiwa ini bukan sekadar kecelakaan," kata Achmad Nur Hidayat, ekonom dan pakar kebijakan publik dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Jumat, 29 Agustus 2025.
Menurut dia, itu merupakan gejala dari kombinasi kelalaian prosedural, kultur kekerasan, dan tata kelola anggaran yang menyimpang.
"Dari sini, kita perlu merefleksikan tiga hal: kesalahan penanganan, ironi anggaran Polri yang sangat besar, dan urgensi evaluasi menyeluruh di tubuh kepolisian," ujarnya.
Ia menyampaikan, dari sisi peristiwa, tragedi Affan merupakan cermin kegagalan manajemen kerumunan Polri.
Aksi demonstrasi pada Kamis, 28 Agustus 2025, merupakan aksi kedua dalam satu pekan yang dipicu paket tunjangan untuk anggota DPR, di antaranya Rp50 juta untuk perumahan, Rp12 juta untuk makan, dan Rp7 juta untuk transportasi yang jauh di atas upah minimum.
"Massa pekerja dan mahasiswa menuntut upah layak, menolak outsourcing, dan memprotes pajak daerah yang naik hingga 250 persen," katanya.
Nur Hidayat menyampaikan, di tengah tuntutan itu, aparat berseragam lengkap, membawa kendaraan taktis, menyemprotkan meriam air dan menembakkan gas air mata.
"Video memperlihatkan mobil Brimob menerobos kerumunan, padahal warga sudah memberi peringatan. Bukannya berhenti, kendaraan itu melaju dan melindas Affan," ujarnya.
Kesalahan penanganan tidak berhenti pada satu kendaraan. Laporan Reuters menyebut ratusan mahasiswa dan pengemudi ojol berunjuk rasa di depan Markas Brimob Kwitang, Jakarta Pusat, sampai dini hari.
"Polisi melepaskan gas air mata dan meriam air, sementara 600 orang dilaporkan ditangkap," katanya.
Baca Juga: Kapolda Metro Jaya Irjen Asep Umbar Janji Usut Tuntas Tewasnya Ojol Dilindas Rantis Brimob
Presiden Prabowo Subianto mengaku “terkejut dan kecewa” atas tindakan aparat, memerintahkan investigasi dan meminta penegakan hukum terhadap pelaku.
Kepala Polda Metro Jaya, Asep Edi Suheri, bahkan meminta maaf secara terbuka dan membenarkan bahwa Affan bukan bagian dari aksi.
Namun permintaan maaf tak menghapus kesan penanganan brutal. Banyak analis dan publik di sosial media menyebut tindakan tersebut bukan kecelakaan melainkan “tindakan brutal” yang melanggar prosedur.
"Di sini tampak kelemahan pendekatan aparat. Polisi berperan sebagai penjaga ketertiban dan pelindung warga, bukan pasukan tempur," ujarnya.
Baca Juga: Ini Tampang 7 Anggota Brimob yang Lindas Driver Ojol hingga Meninggal Saat Diperiksa Propam
Namun dalam banyak aksi, lanjut Nur Hidayat, pendekatan yang diambil cenderung militeristik, yakni penggunaan kendaraan lapis baja, senjata huru‑hara, dan taktik tekanan.
"Analoginya seperti dokter yang menangani demam dengan amputasi, masalah ketertiban diselesaikan dengan kekerasan berlebihan," ujarnya.
Tidak heran apabila Amnesty International menyoroti tindakan yang tidak proporsional seperti gas air mata, pemukulan, dan penangkapan sewenang‑wenang sebagai pelanggaran hak berkumpul.***