KONTEKS.CO.ID - Pembina Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) Mulyanto mengkritik Pemerintah yang hanya terpaku pada program dimethyl ether (DME) dengan cara gasifikasi batu bara untuk meningkatkan nilai tambah hasil tambang.
Pemerintah harusnya mencari alternatif lain untuk hilirisasi batu bara. Bila secara hitungan ekonomis gasifikasi batu bara lebih mahal daripada impor LPG sebaiknya memilih cara lain agar keuangan negara tetap aman.
"Kalau memang hitung-hitungan bisnisnya tidak masuk, sebaiknya program ini tidak dipaksakan. Ujung-ujungnya nanti perlu dana subsidi untuk produksi DME dari APBN. Ini seperti tutup kantong kiri dan buka kantong kanan," ujar Mulyanto pada Sabtu, 19 April 2025.
Baca Juga: Cerita Chef Sapta di Mesir, Bangga Bisa Masak Mie Nyemek untuk Presiden Prabowo
Anggota Komisi Energi DPR RI 2019-2024 itu menambahkan, ide memproduksi DME secara domestik dari gasifikasi batubara dampak berdampak baik.
Tapi syaratnya, kalau secara teknologi dan ekonomi hitung-hitungannya masuk.
Karena selain dapat menjaga permintaan batubara dalam negeri saat program pensiun dini PLTU dijalankan, program ini juga dapat mengurangi impor LPG sekaligus mengurangi subsidi untuk penggunaan gas LPG tiga kilogram.
Diketahui bahwa MIND ID tengah menghitung dampak proyek DME untuk substitusi LPG. Namun, hasilnya DME jauh lebih mahal dibandingkan dengan impor LPG.
Baca Juga: Dugaan Politik Uang Jelang PSU Serang, Tiga Orang dan Barang Bukti Diamankan Tim Gabungan Gakkumdu
Artinya, nilai keekonomian dari DME tidak tercapai dibandingkan dengan impor LPG.
Apalagi Air Product, perusahaan AS pemilik teknologi DME malah mengundurkan diri dari konsorsium DME.
Sementara PT. Bukit Asam (PTBA) telah memiliki program alternatif pemanfaatan batu bara. PTBA telah bekerja sama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam pengembangan artificial graphite dan anode sheet untuk bahan baku baterai ion litium (Li-ion).