KONTEKS.CO.ID – Indonesia beli Mirage 2000-5 bekas pakai dari Qatar. Pembelian yang sudah terkonfirmasi oleh Menhan Prabowo ini menimbulkan pro-kontra.
Bagaimana tidak, ternyata ada dugaan Indonesia beli Mirage 2000-5 yang pernah ditawarkan Pemerintah Qatar secara hibah alias gratis.
Padahal keputusan Indonesia beli Mirage 2000-5 bekas pakai dari Qatar akan menguras APBN hingga Rp14,5 triliun. Bukan duit pajak rakyat yang sedikit.
Dalam keterangan resminya, Beni Sukadis, peneliti senior LESPERSSI mengungkapkan, tahun lalu sempat ada informasi rencana pengadaan alat utama sistem persenjataan atau alutsista jet tempur ini. Tetapi kabar itu baru terkonfirmasi di 2023 ini.
Pembelian Darurat
Kementerian Pertahanan (Kemenhan) beralasan, 12 jet tempur ini dibeli demi memenuhi kebutuhan mendesak mengganti pesawat tempur lawas seperti F5 dan Hawk 100 yang sudah pensiun.
Pengadaan tersebut dianggap sebagai obat cespleng dalam memperkuat armada tempur TNI AU sesuai rencana strategis yang ada.
“Diketahui sasaran Renstra 2019-2024 masih belum tercapai, artinya pembelian ini untuk memenuhi interim readiness (kesiapan sementara), yang menjadi salah satu solusi jangka pendek Kementerian Pertahanan,” kata Beni, dikutip di Jakarta, Rabu 21 Juni 2023.
Tak heran, pemerintah berargumen apa yang ditempuh adalah cara efektif mendapatkan pesawat secara cepat dan praktis ketika sanksi internasional terhadap Rusia makin meningkat seusai aneksasi sejumlah wilayah Ukraina pada 2022.
“Indonesia membutuhkan pesawat tempur yang dapat segera dikirimkan untuk mengatasi penurunan kesiapan tempur dalam armada Angkatan Udara Indonesia,” kata Edwin Adrian, Juru Bicara Kementerian Pertahanan saat mengonfirmasi pembelian tersebut.
Mirage 2000-5, Jet Tempur Tua
Di lain sisi, banyak pihak mengecam pembelian pesawat bekas ini. Di antaranya, anggota DPR, TB Hasanudin, yang menilai tidak ada kebutuhan mendesak membeli pesawat tempur lantaran saat ini tidak ada perang.
Beni Sukadis menginformasikan, Mirage 2000-5 pertama kali dibeli Qatar pada 1997. Jet tempur pernah digunakan dalam kampanye menghadapi perlawanan pemberontak Houthi yang didukung Iran di Yaman.
Artinya, lanjut dia, dari segi umur jet tempur saat ini akan memasuki usia operasional 26 tahun alias cukup tua. Secara praktik umumnya jika pesawat sudah mencapai umur 40 tahun sudah wajib diganti atau pensiun yang disebut Total Lifelong Expiry (TLLE).
“Karena bisa saja spare part sudah jarang diproduksi atau bahkan tidak diproduksi lagi, sehingga biaya pemeliharaan menjadi sangat mahal,” tambahnya.
Yang menarik, ungkap Beni Sukadis, sebenarnya Indonesia pernah ditawarkan pesawat tipe sama oleh Qatar secara hibah pada 2009. Namun pada saat itu Menteri Pertahanan, Juwono Sudarsono, menolak hibah itu.
Alasannya sederhana. Juwono mengatakan, biaya pemeliharaan dan perawatan akan sangat mahal. Jadi bisa dikatakan, pesawat yang akan dibeli Kemenhan adalah pesawat yang pernah ditawarkan dengan gratis oleh Qatar dulu.
“Kalau dulu dengan alasan pemeliharaan akan menjadi mahal walaupun hibah, kenapa saat ini dibeli lagi dengan pinjaman luar negeri?” sentil Beni Sukadis.
Biaya Perawatan Mirage 2000-5 Mahal
Merespons pembelian ini, lanjut dia, sebaiknya pemerintah menimbang sejumlah hal mendesak dalam pembelian alutsista di masa depan.
“Pertama, pesawat tua jenis apa pun seharusnya menjadi pilihan terakhir dalam pembelian alutsista di masa depan,” katanya.
Pesawat Mirage yang akan memperkuat TNI AU nantinya akan berusia antara 29-30 tahun. Kemudian akan menjadi barang tua dalam 10-15 tahun ke depan dan memiliki risiko kerusakan mesin. Sebab, Indonesia tidak mengetahui proses pemeliharaan selama dipakai pengguna pertama.
“Padahal dalam waktu yang hampir sama tahun 2026, jet tempur Rafale Dassault juga akan dikirim ke Indonesia,” ujarnya.
Kedua, sambung dia, ketersediaan spare part Mirage mungkin 10-15 tahun ke depan semakin langka. Ini akan membuat biaya perawatan dan pemeliharaan (MRO) mahal.
Tentu ini akan memberatkan anggaran belanja negara yang harus dikeluarkan untuk 10-15 tahun ke depan hingga pesawat akhirnya di-grounded. Itu karena pesawat sudah tidak diproduksi lagi oleh OEM (Original Equipment Manufacture/produsen).
Ketiga, dengan masa pakai yang singkat ini (10-15 tahun) plus jumlah 12 pesawat, maka secara cost benefit pun sangat tidak menguntungkan. Terutama dalam alokasi dana pelatihan teknisi dan pilotnya.
“Masa operasional yang singkat itu selain membebani APBN, juga tidak berpengaruh banyak bagi kemampuan pertahanan,” kritiknya lagi.
Keempat, perencanaan yang matang dalam setiap pembelian alutsista tentu harus terjadi dengan proses diskusi yang terbuka dan bertanggungjawab yang melibatkan pihak ketiga seperti parlemen, akademisi dan masyarakat sipil lainnya.
“Dan proses ini tampaknya tidak terjadi dalam pengadaan alutsista ini, artinya ini merupakan keputusan sepihak (Kemhan) tapi dapat merugikan semua pihak baik pemakai dan juga rakyat Indonesia,” tandasnya.
Kesimpulan
Kesimpulannya, sebagai negara besar di ASEAN dengan lingkungan strategis tidak menentu dan sangat tidak bisa diprediksi, terutama di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara, maka peningkatan kemampuan pertahanan sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi.
Artinya pengelolaan dan perencanaan pengadaaan alutsista harus melalui prinsip demokratis dan transparan. Pengadaan alutsista baru sebagai investasi masa depan bagi pengembangan pertahanan adalah keniscayaan.
“Apalagi, kita baru saja memperingati 25 tahun Reformasi, yang intinya menuntut negara agar bertanggung jawab dalam penyelenggaraan negara, khususnya pengembangan kapasitas pertahanan negara,” pungkasnya. ***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"