KONTEKS.CO.ID – Dewan Pers akhirnya mengeluarkan pernyataan terkait ramainya pemberitaan tentang anak AG (15) yang belum lama ini divonis dalam kasus penganiayaan berat terhadap David Ozora (17) dengan pelaku utama Mario Dandy Santriyo (20).
Dalam sidang vonis di Pengadilan Jakarta Selatan, hakim tunggal membeberkan adanya peristiwa yang tidak layak diberitakan dalam kasus anak. Terutama tentang anak AG dan David.
Tapi ternyata, sejumlah peristiwa atau fakta persidangan mengenai rekam jejak pelaku anak dan korban diberitakan media dan disebarluaskan. Ini jelas melanggar Undang-Undang Pers No.40/199, Kode Etik Jurnalistik (KEJ), dan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA) dalam memberitakan anak, baik sebagai pelaku, korban, maupun saksi kasus kejahatan.
Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers Yadi Hendriana menyampaikan, pemberitaan tentang anak AG tentang fakta dalam persidangan terkait peristiwa yang tidak layak diberitakan tentu sudah keluar dari kaidah jurnalistik.
Padahal kata mantan Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) itu, UU Pers Pasal 7 UU ayat (2) yang menyatakan wartawan memiliki dan menaati kode etik jurnalistik.
“KEJ Pasal 5 menggariskan kewajiban pers melindungi identitas anak. Pasal ini berisi ketentuan, wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan,” kata Yadi dalam keterangan pada Rabu, 12 April 2023.
Tentu sesuai dengan Peraturan Dewan Pers No.1/PERATURAN-DP-II/2019 tentang Pedoman Pemberitaan Ramah Anak yang merujuk pada Undang-Undang No.11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), bahwa seseorang anan adalah yang belum berusia 18 tahun, baik masih hidup maupun sudah meninggal dunia, sudah menikah maupun belum menikah.
Tentu sesuai dengan ketentuan tersebut, identitas anak harus dilindungi baik secara data maupun informasi yang menyangkut anak tersebut. ini gar orang lain tidak mengetahui anak tersebut.
Misalnya, nama, foto, gambar, nama kakak/adik, orangtua, paman/bibi, kakek/nenek, dan keterangan pendukung seperti alamat rumah, alamat desa, sekolah, perkumpulan/klub yang diikuti, dan benda-benda khusus yang mencirikan si anak.
“Jadi, semua informasi yang dapat mengungkap jatidiri anak pelaku, anak korban, dan anak saksi suatu kejahatan harus disembunyikan, tidak diungkapkan dalam berita,” kata Yadi.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"