KONTEKS.CO.ID – Ekonom dan Peneliti Lingkar Studi Perjuangan (LSP), Gede Sandra, mengatakan bahwa terjadi praktik misinvoicing selama 10 tahun dengan nilai fantastis Rp1.000 triliun.
"Jumlahnya Rp1.000 triliun," kata Sandra dilansir dari siniar Forum Keadilan Tv di Jakarta pada Kamis, 23 Oktober 2025.
Gede Sandra menjelaskan, praktik misinvoicing adalah laku lancung mengecilkan atau menggelembungkan (mark up) invoice terkait aktivitas ekspor.
Baca Juga: Rieke Diah Pitaloka Murka! Pesantren Non-Komersial Ditagih Pajak, Langsung Lapor ke Menkeu Purbaya
Dalam praktiknya, ada dua modus, yakni under invoicing. "Artinya, nilainya di bawah dari nilai sebenarnya gitu. Under kan, dimurah-murahin," katanya.
Kedua, lanjut Gede Sandra, yakni over invoicing atau kebalikan dari under invoicing. "Dimahal-mahalin," ucapnya.
Ia menyampaikan, praktik ini berdasarkan data dari Next Indonesia yang melakukan penelitian sejak tahun 2013 sampai 2024.
Baca Juga: Resmi! 13 Kelompok Wajib Pajak Ini Bisa Hapus NPWP Tanpa Kena Sanksi, Cek Apakah Kamu Termasuk!
Hasil penelitian tersebut sangat mencengangkan, yakni selama 10 tahun terjadi praktik misinvoicing dalam aktivitas ekspor Indonesia.
"Selama 10 tahun tersebut secara konsisten terjadi misivoicing setiap tahunnya. Yang angkanya Rp1.000 triliun," ucapnya.
Sedangkan jika dikonversi ke dolar Amerika Serikat (AS), angka under invoicing sekitar US$40 miliar. Sedangkan over invoicing-nya sekitar US$25 miliar.
"Kalau dikurs ke rupiah Rp1.000 triliun," tandasnya.
Gede Sandra menegaskan, setiap tahunnya ada aliran dana gelap sekitar Rp1.000 triliun yang tidak terbaca oleh sistem hukum atau pemerintahan Indonesia.
"Seharusnya, Rp1.000 triliun itu bisa masuk ke negara dalam bentuk pajak, bea keluar atau PNBP," ujarnya.
Ia menyampaikan, jika dari Rp1.000 triliun tersebut kemudian pemerintah bisa mendapatkan 10-15 persennya, maka akan diperoleh sekitar Rp100 sampai dengan Rp190 triliun per tahun.
"Tambahan penerimaannya langsung ke negara dalam bentuk pajak, PNBP, bea cukai," katanya.
Menurut Gede Sandra, jika pemerintah atau negara dapat mengambil Rp160 triliunnya saja, itu bakal mendongkrak tax ratio.
"Yang kemarin kan orang-orang bilang tax ratio kita terendah se-Asia, di bawah 10%. Tax ratio kita itu tidak mencerminkan perekonomian kita karena aktivitas ini," ucapnya.
Baca Juga: Mahfud MD Tegaskan Nilai BLBI Bisa Lebih Besar dari Pengemplang Pajak yang Dikejar Purbaya
Ia menegaskan, praktik misinvoicing ini terjadi selama 10 tahun terakhir, yakni pada era Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Praktik ini konsisten terjadi setiap tahun dalam kurun tersebut.
"Padahal kalau tax ratio-nya itu bisa kita ambil dari dana gelap ini, dapat kita Rp160 triliun, kita akan nambah 1 sampai 2 persen. Jadi kita sekarang kan 10 persen ratio kita, kita akan meningkat sampai 11 sampai 12 persen," ujarnya.***