Rebutan Market: Bisnis atau Ancaman Sistemik?
Saat ini, lima terminal peti kemas di Tanjung Priok yakni Jakarta International Container Terminal (JICT), TPK Koja, NPCT-1, Mustika Alam Lestari (MAL), dan Terminal 3 beroperasi di bawah kendali Pelindo.
Namun, bukan berarti mereka beroperasi dengan sinkronisasi penuh. Praktik tarik-menarik pasar antarterminal, menurut ALFI, menunjukkan lemahnya manajemen koordinasi internal di tubuh Pelindo sendiri.
Bahkan, Karim menganggap tindakan tidak saling melapor saat terjadi kelebihan kapasitas sebagai bentuk kelalaian yang berbahaya.
Baca Juga: 5 Fakta Menarik Pengepungan di Bukit Duri, Film Aksi Joko Anwar yang Ditulis Selama 17 Tahun
“Terminal harus transparan kepada KSOP jika sudah overload, bukan malah tetap menambah layanan demi mengejar omzet,” imbuhnya.
Empat Langkah Strategis Ala ALFI
Untuk mengatasi persoalan ini, ALFI Jakarta mengajukan empat langkah strategis yang dianggap mendesak dan fundamental:
- Implementasi Terminal Booking System (TBS):
ALFI mendorong penggunaan sistem booking digital terintegrasi yang melibatkan terminal, KSOP, dan asosiasi pelaku usaha. Sistem ini dilengkapi buffer area di sisi barat dan timur pelabuhan untuk mengatur arus truk masuk. Ini dianggap lebih rasional daripada sistem kuota TILA impor yang saat ini diberlakukan oleh NPCT-1. - Percepatan Pembangunan Pelabuhan Patimban:
Pelabuhan Patimban di Subang, Jawa Barat, perlu segera difungsikan sebagai pusat layanan kontainer, khususnya untuk distribusi dari dan ke wilayah timur Jakarta. Ini akan mengurangi beban operasional Pelabuhan Tanjung Priok yang sudah mendekati ambang batas. - Kompensasi oleh Pelindo:
Pelindo sebagai holding harus bertanggung jawab atas kerugian akibat keterlambatan logistik. ALFI mendesak kompensasi setidaknya berupa pembebasan biaya storage, biaya closing, dan biaya tambahan lain yang timbul dari keterlambatan operasional. - Evaluasi SKB Libur Lebaran:
Surat Keputusan Bersama (SKB) mengenai libur panjang Lebaran dianggap sebagai salah satu penyebab lonjakan aktivitas ekspor-impor secara bersamaan pasca-libur. Ketika manufaktur beroperasi kembali dan semua pihak ingin mempercepat distribusi, sistem logistik menjadi kewalahan. Adil meminta ke depan, kebijakan ini disusun berdasarkan masukan pelaku usaha agar tidak kontraproduktif terhadap ekonomi.
Baca Juga: Hasil Persebaya Vs Madura United 1-0, Mengintip Persaingan Dua Besar
Logistik Nasional yang Tak Lagi Tangguh
Apa yang terjadi di NPCT-1 sebenarnya hanyalah puncak gunung es dari persoalan yang lebih besar dalam sistem logistik nasional.
“Logistik itu soal waktu dan efisiensi. Begitu truk tertahan, biaya meningkat, jadwal produksi terganggu, dan ekspor bisa kehilangan pasar,” ujar Karim.
Ia menekankan bahwa kerugian akibat kemacetan horor ini tak hanya dirasakan pelaku logistik, tapi berdampak pada industri secara luas dari pabrik, ekspor, hingga pelabuhan tujuan di negara lain.
Baca Juga: Pekerja Indonesia Kembali Dideportasi dari Filipina
Kini, pelaku usaha menunggu langkah nyata dari pemerintah dan Pelindo. Karena tanpa perubahan mendasar dalam tata kelola, kemacetan seperti ini tak akan menjadi kejadian terakhir tapi justru menjadi pola yang terus berulang. ***