digital

Dewan Pers: AI Bukan Produk Jurnalistik dan Tak Bisa Gantikan Jurnalis!

Kamis, 23 Oktober 2025 | 16:37 WIB
Dewan Pers tegaskan AI bukan produk jurnalistik dan tak bisa gantikan peran jurnalis (Foto: Ilustrasi/Freepik)

KONTEKS.CO.ID - Kemajuan teknologi kecerdasan buatan (AI) menghadirkan peluang besar sekaligus ancaman baru bagi tata kelola informasi di Indonesia.

Karena itu, pemerintah menegaskan bahwa manusia harus tetap menjadi pusat dalam setiap kebijakan dan pengembangan AI agar teknologi tidak berjalan tanpa kendali moral maupun hukum.

Staf Ahli Kementerian Komunikasi dan Digital, Wijaya Kusumawardhana, menegaskan hal tersebut dalam Indonesia Digital Conference (IDC) 2025 yang diselenggarakan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) di The Hub Sinarmas Land, Jakarta, Kamis, 23 Oktober 2025.

“AI tidak boleh menggantikan manusia sebagai subjek utama. Manusia harus tetap menjadi pusat dari setiap kebijakan, pengawasan, dan penggunaan teknologi ini,” ujar Wijaya.

Baca Juga: AMSI Desak Revisi UU Hak Cipta, Cegah 'Pembajakan' AI atas Konten Jurnalistik

Menurut Wijaya, pendekatan human-centric adalah fondasi utama agar kecerdasan buatan alias AI digunakan untuk memperkuat kehidupan manusia, bukan menggantikan perannya.

Sebab, tanpa tata kelola yang baik, AI berpotensi menimbulkan masalah serius seperti manipulasi informasi, penyalahgunaan data pribadi, hingga penyebaran konten deepfake.

Kebijakan AI Nasional Harus Etis dan Dipercaya

Wijaya menjelaskan, kebijakan AI nasional Indonesia perlu berpedoman pada prinsip "Trustworthy AI" atau kecerdasan buatan yang dapat dipercaya, yakni adil, transparan, serta menghormati nilai-nilai kemanusiaan.

“Pemerintah tidak melihat AI hanya dari sisi komersial, melainkan juga etika dan keamanan penggunaannya,” katanya.

Baca Juga: Perpres AI Siap Terbit plus Sanksi yang Diatur di UU: Dorong Ekosistem Kecerdasan Buatan, Aman, dan Produktif

Dalam ranah hukum, Wijaya menegaskan bahwa penggunaan AI tetap tunduk pada regulasi nasional, termasuk UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).

“Data pribadi tidak boleh digunakan tanpa persetujuan pemiliknya, baik berupa identitas umum seperti NIK maupun data sensitif seperti biometrik atau rekam medis,” ujarnya.

Pemerintah, lanjut Wijaya, juga menyoroti praktik pengumpulan data biometrik publik untuk kepentingan bisnis tanpa izin. Tindakan semacam itu berpotensi melanggar hukum dan akan dikenai sanksi tegas.

Halaman:

Tags

Terkini