Sudah 24 tahun berlalu sejak konflik etnis Dayak–Madura mengguncang Kalimantan Tengah pada Februari 2001.
Namun, bagi banyak warga, bayangan tragedi itu masih terasa dekat. Api konflik bermula di Sampit, sebuah kota kecil yang kala itu tengah berkembang pesat karena industri kayu dan perkebunan.
Dalam hitungan hari, kerusuhan berubah menjadi pembantaian. Rumah-rumah dibakar, warga berlarian menyelamatkan diri, dan jalan-jalan dipenuhi ketegangan. Konflik pun menjalar ke berbagai daerah, termasuk Palangka Raya.
Beragam versi menyebutkan penyebab awal tragedi ini. Salah satu versi menyebut perkelahian kecil di Desa Kerengpangi pada Desember 2000 sebagai pemicu, ketika seorang warga Dayak dilaporkan disiksa hingga tewas setelah perselisihan judi.
Baca Juga: Beredar Isu Munculnya Sumur Gas Mirip Lapindo dan Suku Dayak Terusir di IKN, Ternyata Begini
Ada pula yang menyebut kebakaran rumah sebagai awal mula kemarahan yang tak terbendung.
Namun apapun versinya, konflik itu berubah menjadi lingkaran kekerasan. Versi lain disebutkan bahwa warga Madura dikabarkan menyerang pemukiman Dayak, bahkan menyebut Sampit sebagai "Sampang Kedua".
Tak lama, massa Dayak melakukan serangan balasan, sebuah tindakan brutal yang kemudian menjadi simbol kebangkitan sekaligus kutukan sejarah.***