KONTEKS.CO.ID – Ketua Bidang Hubungan Legislatif Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai NasDem, Atang Irawan mengatakan putusan PN Jakpus No 757 tahun 2022 yang memenangkan gugatan Partai Prima dan memerintahkan KPU menunda tahapan Pemilu 2024 merupakan penodaan terhadap konstitusi.
“Kenapa demikian, karena dalam putusan PN Jakpus menyatakan ‘Menghukum KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan pemilihan umum 2024’. Padahal, amanat konstitusi jelas menyatakan Pemilu dilaksanakan lima tahun sekali,” kata Atang Irawan dalam keterangan tertulisnya, Jumat 3 Maret 2023.
Atas dasar itu, Atang menilai keputusan PN Jakpus ini merupakan turbulensi yustisial yang mencoreng muka eksistensi peradilan dan juga mencurigakan. Kecurigaan muncul, ketika PN Jakpus memeriksa gugatan ini.
“Jika melihat dalam skema kontestasi politik bahwa sengketa sebelum pencoblosan yang berdimensi administrative menjadi domain Bawaslu, dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Seharusnya, PN Jakpus menyatakan gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard), tetapi justru diterima,” ungkaya.
Atang menambahkan, kecurigaan publik ini semakin menguat karena gugatan perdata tersebut menggunakan dasar Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Padahal, jika memperhatikan PERMA No 2 Tahun 2019 menyatakan bahwa Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechmatige Overheidsdaad), dan keputusan KPU selain penetapan perolehan suara merupakan perbuatan pemerintahan yang menjadi domain peradilan TUN (Tata Usaha Negara), Jika mendasarkan pada UU Peradilan TUN Pasal 2 UU No 9 Tahun 2004.
Dari sini menurut Atang, semakin nampak bahwa hakim melakukan ultra petita dengan melompat dari apa yang dimohonkan. Dimana kasus ini adalah penyelesaian perdata yang putusannya seharusnya terkait dengan perbuatan KPU terhadap penggugat dalam tahapan Pemilu yang dimohonkan. Namun justru putusannya berakibat pada seluruh tahapan Pemilu.
“Ironis memang jika kita memandang bahwa hakim dianggap tidak atau bahkan belum tahu regulasi tentang kontestasi politik, maka semakin menunjukan peradilan kita menuju ke arah kesesatan berpikir, karena hakim harus dianggap memahami hukum sebagai bagian dari Prinsip Ius Curia Novit,” tegasnya.
Menurutnya, jika memperhatikan kompetensi absolut peradilan, maka jelas bahwa PN Jakpus mencoba merobek peraturan perundang-undangan bahkan konstitusi, karena pengaturan tentang kewenangan pengadilan secara absolut sangat jelas dan imperatif yang tidak mungkin ditafsir.
“Ini sangat berbahaya dan gejala turbulensi yustisial jika dibiarkan secara liar dalam penegakan hukum dan keadilan,” pungkasnya. ***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"